DPP Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) – Front Perjuangan Rakyat (FPR)
Terbaru
Sabtu, 01 Mei 2021
Siaran Pers: Dalam Peringatan Hari Buruh Internasional Satu Mei 2021
Penyataan dan Tuntutan Nasional: Dalam Peringatan Hari Buruh Internasional Satu Mei 2021
DPP Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) – Front Perjuangan Rakyat (FPR)
Minggu, 07 Maret 2021
Pernyataan Sikap pada Peringatan Hari Perempuan Internasional (HPI), 8 Maret 2021
“Kaum perempuan Indonesia bangkitlah
dengan kesadaran baru, Perkuat solidaritas sesama perempuan dan seluruh rakyat
yang senasib, Mari berjuang bersama meringankan beban hidup dan menghapuskan
segala bentuk penindasan dan penghisapan selamanya”
Hari Perempuan Internasional 8 Maret tahun ini
diperingati dalam situasi krisis kronis yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Sudah dua tahun Pandemi Covid-19 menggerogoti daya hidup rakyat tertindas dan
terhisap Indonesia dan dunia. Kebijakan kapitalis monopoli internasional dan
para kompradornya di seluruh dunia dalam menangani Pandemi Covid-19 sangat
tendensius. Tidak saja mengutamakan penyelamatan klas dan sistemnya semata,
tetapi dengan tidak tahu malu mengambil keuntungan sebesar-sebesarnya dengan
bisnis skala besar alat kesehatan dan vaksin, termasuk mengambil keuntungan
sangat besar dari surplus asuransi kesehatan yang hampir saja mengalami
kebangkrutan serentak di seluruh dunia. Dalam waktu bersamaan kaum perempuan
dan anak-anak, rakyat tertindas dan terhisap menjadi korban dari berbagai jenis
bencana alam yang mematikan karena degradasi lingkungan hidup parah dan korban
dari perang agresi dan intervensi serta operasi kontra-insurjensi imperialis
yang berkelanjutan.
Peringatan Hari Perempuan Internasional 8 Maret
2021 menjadi momentum berharga bagi kaum kaum perempuan dan seluruh rakyat
tertindas dan terhisap Indonesia dan seluruh dunia untuk bangkit dengan
kesadaran baru bahwa dominasi imperialisme atas seluruh dunia dan sistem
setengah jajahan setengah feodal di Indonesia telah menciptakan kesenjangan
antar klas, kesenjangan antar jenis kelamin, kesenjangan tajam antar bangsa dan
negeri dalam segala hal, perpecahan karena ras dan agama serta suku bangsa.
Segala bentuk jalan politik dilakukan untuk menjaga kekuasaan monopoli atas
tenaga produktif. Karena itu, bagaimana pun, imperialisme dan sistem
peliharaannya di Indonesia Setengah Jajahan dan Setengah Feodal harus dihancurkan
dan membuka jalan bagi Sistem Demokrasi Rakyat.
Di Indonesia, kekangan dan berbagai tindasan atas
kaum perempuan dari klas buruh dan kaum tani serta intelektual dan profesional
perkotaan tidak saja menghambat dan merusak tenaga produktif terbesar bangsa
ini. Kekangan terhadap perempuan telah menjadi senjata bagi para borjuasi besar
komprador dan tuan tanah besar di Indonesia untuk mempertahankan kekuasaan tetap
di tangannya. Karena itu tidak mengherankan apabila kaum perempuan hingga
sekarang tetap menghadapi tindasan negara dan klas, dibelenggu dalam sistem
kekuasaan patriarki kaum laki-laki.
Tuntutan kaum perempuan bukan semata-mata
kesetaraan dengan kaum laki-laki, tetapi kebebasan dan kemajuan ekonomi,
politik dan kebudayaan bagi dirinya, bagi bangsanya dan seluruh rakyat
tertindas dan terhisap. Perempuan Indonesia tidak ingin setara dalam kemiskinan
dengan kaum laki-laki, tidak ingin sama-sama terbelenggu dengan kaum laki-laki
dalam kekuasaan para penghisap dan penindas, tidak ingin sama-sama hidup dalam
kebudayaan dekaden dengan kaum laki-laki sebagaimana situasi saat ini. Sejarah
telah menunjukkan bahwa kebebasan dan kemajuan tidak pernah menjadi milik
bangsa dan masyarakat yang menindas dan menghisap kaum perempuannya, memelihara
diskriminasi dan membiarkan berbagai bentuk kejahatan terhadap perempuan
berlangsung.
Kejahatan terhadap perempuan akan terus terjadi
selama sistem kepemilikan perseorangan atas alat produksi dan kesenjangan klas dipertahankan.
Kejahatan terhadap kaum perempuan yang masih berlangsung saat ini adalah
warisan zaman kepemilikan budak yang mempromosikan sistem patriarkal pertama
kalinya. Sejak Convention On elemination
of All Forms of Discrimination Against women (CEDAW) 1979, Declaration On the Elimination of Violence
Against Women tahun 1993, kejahatan terhadap kaum perempuan terus
meningkat. Sistem setengah kolonial dan setengah feodal sebagaimana imperialisme
adalah sistem yang sangat patriarkal. Mereka menentang penjualan manusia dan
perempuan secara ilegal dan membangun sistem agar dapat menjual manusia dan
kaum perempuan secara legal.
Pada tahun 1994 berkat Senator Joe Biden, bekas
wakil presiden dan sekarang Presiden Amerika Serikat menjadi promotor Undang-Undang
Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Violence Against Women Act) sehingga Amerika
Serikat memiliki undang-undang anti kekerasan terhadap perempuan pertama
kalinya dan terus dire-otorisasi. Pada tahun 2018, Riset Thomson Reuters Foundation, Amerika Serikat menjadi satu-satunya
negara industri kapitalis dalam daftar 10 besar tingkat kejahatan terhadap
perempuan dan menjadi negara ke-10 negara paling tidak aman bagi kaum
perempuan. Sementara India, yang dianggap sebagai negara demokrasi no.1 di dunia
adalah peringkat SATU-nya! Pada tahun 2020 kejahatan terhadap kaum perempuan Di
Amerika Serikat terjadi setiap 98 detik sekali, 200.000 anak laki-laki kepanduan
dilecehkan secara massal, 230 ribu rakyat sipil biasa dan 60.000 militer setiap
tahunnya!
Di Indonesia, berita kekerasan, perkosaan,
pelecehan, berbagai bentuk diskriminasi masih berlangsung setiap hari dan
hampir saja menjadi kejadian biasa. Berbagai kejahatan ekstrem terhadap
perempuan adalah cerminan tidak terbantahkan dari krisis ekonomi-politik kronis
sistem setengah jajahan dan setengah feodal. Perkosaan oleh bapak kandung,
bapak tiri, kakak kandung, kakak tiri, paman, teman sekolah hingga hamil dan
melahirkan. Di dalam pabrik, buruh diperkosa pengusaha dan mandor, keguguran
dan mendapatkan pelecehan seksual dari teman sekerja. Di perkebunan besar
sawit, saat lamaran kerja saja, syaratnya siap dilecehkan! Di kampus-kampus
kasus perkosaan tidak terhitung lagi banyaknya. Dan tidak pernah dalam sejarah
republik ini, ada regulasi yang terbukti efektif melindungi perempuan-anak dan
menghapuskan kekerasan terhadap perempuan-anak selamanya.
Perjuangan bagi kaum perempuan untuk membebaskan
dirinya dari berbagai bentuk kejahatan ekstrem di Indonesia sangat berat, akan
tetapi harus dilakukan, sebagai syarat pembebasan dan kemajuan tenaga produktif
di Indonesia. Syarat bagi Indonesia yang demokratis. Perjuangan bagi kaum
perempuan tidak terpisahkan, bahkan menjadi program dan tuntutan khusus
perjuangan pembebasan bangsa dan rakyat tertindas-terhisap di Indonesia.
Karena itu melalui momentum Hari Perempuan
Internasional 8 Maret 2021 ini, kami Front Perjuangan Rakyat (FPR) persatuan
organisasi massa demokratis nasional di Indonesia mengajukan tuntutan sebagai
berikut:
1.
Menuntut
tanggung jawab ekonomi, politik dan kebudayaan yang sungguh-sungguh, nyata dan
merata dari negara terhadap kaum perempuan dan anak-anak yang tidak berpunya
dan tidak mampu selama penanganan Covid-19 dan bencana alam.
2.
Menuntut
perlakuan dan tindakan kesehatan yang sama dan tidak diskriminatif, mudah dan
murah bagi perempuan dan anak-anak selama Covid-19.
3.
Menuntut
Pencabutan Undang-Undang Omnibus-Law Cipta Kerja dan peraturan turunannya yang
memperdalam dan memperluas penghisapan atas perempuan buruh dan perempuan tani.
4.
Menuntut
perbaikan harga komoditas kaum tani, upah klas buruh dan buruh tani
5.
Menuntut
Penghentian semua ekspor dan impor yang merugikan kepentingan tani dan buruh
dan menghambat pembangunan industri yang berbasis pada kemampuan sendiri.
6.
Menuntut
penghentian semua Program Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RAPS) yang
tetap memelihara kepemilikan besar monopoli atas tanah yang timpang dengan
kepemilikan kecil kaum tani dan kesenjangan kemampuan berproduksi di pedesaan,
termasuk penghentian pemberian sertifikat yang bertujuan untuk membatasi
kepemilikan kaum tani atas tanah dan memberikan kepastian hukum dan ekspansi
tanah untuk tuan tanah besar dan investasi asing.
7.
Menuntut
perlindungan negara yang sungguh-sungguh dan nyata terhadap perempuan dan
anak-anak dari berbagai bentuk kejahatan ekstrim dan kejahatan seksual.
8.
Menuntut
kebebasan intelektual, berpendapat, berorganisasi, mengkritik dan hak bagi
rakyat untuk berjuang memperbaiki dan merombak keadaan hidup secara
fundamental.
9.
Menuntut
penyediaan lapangan kerja yang lebih baik bagi para pemuda dan perempuan dari
kaum intelektual profesional yang terampil dan berpendidikan menengah tinggi.
10.
Menuntut
penyediaan dan perlindungan sungguh-sungguh hak ekonomi, hak politik dan hak
kebudayaan buruh migran dan keluarganya, suku bangsa minoritas di pedalaman
yang hidup secara komunal dan setengah komunal, pemukim dan penggarap di daerah
pegunungan dan nelayan kecil yang tidak bisa melaut karena keterbatasan
kemampuan menghadapi alam dan cuaca yang tidak menentu.
11.
Menuntut
untuk segera meratifikasi Konvensi ILO No.190 tahun 2019 tentang Penghapusan
kekerasan dan pelecehan di dunia kerja.
12.
Segera
berlakukan kontrak mandiri bagi PRT Migran, Hentikan penahanan dokumen serta
overcharging dan kebijakan lainnya yang memberatkan buruh migran Indonesia.
13.
Menuntut
dicabutnya Undang-Undang Pendidikan Tinggi dan sistem pembayaran UKT yang
mempertahankan komersialisasi pendidikan, membatasai akses rakyat untuk kuliah,
serta secara kebudayaan mempertahankan orientasi pendidikan yang melayani
kepentingan imperialis, borjuasi besar komprador, dan tuan tanah.
Kami berharap tuntutan ini dapat menjadi tuntutan bersama
kaum perempuan dan rakyat. Mustahil tuntutan ini bisa tercapai bila hanya menjadi
milik, di dukung dan diperjuangkan secara langsung oleh segelintir orang kaum
perempuan semata, dijalankan oleh organisasi dan kelompok masyarakat yang
terbatas.
Kami menyerukan kepada kaum perempuan untuk ambil
bagian langsung dalam perjuangan untuk pembebasan dan kemajuan kaumnya dengan
cara ambil bagian aktif dalam organisasi perempuan, organisasi tani dan buruh
serta organisasi kaum intelektual dan profesional yang dapat meringankan beban
hidup kaum perempuan, sungguh-sungguh berpihak dan memiliki cita-cita menghapus
akar penghisapan dan penindasan terhadap kaum perempuan selamanya.
Sekali lagi, semoga tuntutan ini menjadi milik
kaum perempuan, rakyat tertindas dan terhisap Indonesia, memperoleh dukungan,
dan diperjuangkan oleh seluruh rakyat indonesia.
Jakarta,
8 Maret 2021
Hormat kami
Front Perjuangan Rakyat (FPR)
Rudi HB. Daman
Koordinator
Umum
Aliansi Gerakan
Reforma Agraria (AGRA), Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI), Pemuda Baru
Indonesia (PEMBARU-Indonesia), Front Mahasiswa Nasional (FMN), Serikat Perempuan
Indonesia (SERUNI), Serikat Demokratik Mahasiswa Nasional (SDMN), Keluarga
Besar Buruh Migran Indonesia (KABAR BUMI), Institute for National and Democracy
Studies (INDIES)
Jumat, 05 Maret 2021
Release Pers Conference Penolakan Surat Pemberitahuan Aksi FPR oleh Kapolresta Yogyakarta
MENGECAM TINDAKAN KEPOLISIAN RESOR KOTA YOGYAKARTA YANG MELAKUKAN PENOLAKAN ATAS SURAT PEMBERITAHUAN AKSI UNTUK MEMPERINGATI HARI PEREMPUAN INTERNASIONAL 2021 YANG DILAYANGKAN OLEH FRONT PERJUANGAN RAKYAT (FPR) YOGYAKARTA
Rezim Jokowi-Ma’ruf terus menunjukkan watak dan tindakan fasisnya terhadap rakyat. Demokrasi terus dikebiri dan perjuangan rakyat terus dibungkam melalui berbagai tindakan fasis yang dilakukan oleh aparat keamanan negara baik Kepolisian dan TNI.
Kali ini Kepolisian Resor Kota (Polresta) Yogyakarta, D.I Yogyakarta telah melakukan tindakan anti demokrasi dan melanggar hak rakyat untuk menyampaikan pendapat di muka umum dengan menolak surat pemberitahuan aksi rakyat yang tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat Yogyakarta untuk melakukan aksi dalam peringatan Hari Perempuan Internasional (Internasional Women Day), 8 Maret 2021 mendatang.
Pada 1 Maret lalu, pihak kepolisian menolak surat pemberitahuan aksi yang akan dijalankan oleh FPR Yogyakarta. Penolakan tersebut dilakaukan melalui surat bernomor B/581/III/2021/Intelkam.
FRONT PERJUANGAN RAKYAT menilai tindakan Kapolresta Yogyakarta merupakan tindakan yang anti demokrasi. Penolakan terhadap surat pemberitahuan yang bertujuan untuk menggunakan hak berpendapat, berekspresi dan berorganisasi merupakan bentuk nyata dari upaya pembungkaman terhadap rakyat yang berjuang menuntut haknya. Tindakan itu juga mencerminkan wajah fasis dari rezim Jokowi-Ma’ruf melalui aparat keamanannya. Kenyataan ini menujukan kedudukan rezim yang anti terhadap rakyat.
Oleh karenanya, FRONT PERJUANGAN RAKYAT mengecam keras tindakan Polresta Yogyakarta yang telah melakukan penolakan atas surat pemberitahuan aksi dari warga negara yang ingin melakukan aksi pada tangal 8 Maret 2021.
Tentu saja tindakan Kapolresta Yogyakarta tidak boleh diabaikan karena hal ini akan mengancam kebebasan dan demokrasi di Indonesia.
Atas dasar itu, FPR dan seluruh organisasi yang tergabung dibawah ini:
1. Front Mahasiswa Nasional Cabang Yogyakarta
2. Serikat Perempuan Indonesia Wilayah D.I Yogyakarta
3. Gabungan Serikat Buruh Indonesia D.I Yogyakarta
4. Aliansi Gerakan Reforma Agraria D.I.Yogyakarta
5. Pemuda Baru Indonesia Wilayah D.I Yogyakarta
6. Himpunan Mahasiswa Islam FH UMY
7. HMI Cabang Yogyakarta
8. PMII UIN Sunan Kalijaga
9. LBH Yogyakarta
10. Aliansi Tanah Dading
11. KOHATI FH UMY
12. HMI FEB UAD
13. KOMAP UMY
14. KOMAHI UMY
menyatakan sikap mengecam tindakan Kepolisian Resor Kota Yogyakarta Yang menolak Surat Pemberitahuan aksi FPR Yogyakarta dan menuntut:
1. Menuntut kepada Kapolresta Yogyakarta dan rezim Jokowi-Ma’ruf untuk memberikan dan melindungi kebebasan bagi rakyat yang ingin melakukan aksi kampanye memperingati Hari Perempuan Internasional 2021
2. Hentikan seluruh tindakan fasis, berupa intimidasi, pelarangan, teror, kriminalisasi terhadap rakyat
3. Menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk terlibat aktif dalam aksi kampanye peringatan Hari Perempuan Internasional 2021 sebagai momentum untuk menyampaikan aspirasi dan tuntutan rakyat.
Rabu, 09 Desember 2020
Pernyataan Sikap dan Tuntutan: KebangkitanDan Persatuan Bangsa dan Rakyat Tertindas dan Terhisap Di Setiap Negeri Adalah Kehancuran Bagi Imperialisme dan Rezim Bonekanya Pemelihara Diskriminasi Hak Dasar-Demokratis Se-Dunia.
Mari bersama bangun sistem baru, akhiri dominasi imperialism sebagai akar perampasan hak-hak rakyat terhisap dan tertindas di Indonesia dan dunia.
Salam demokrasi nasional,
72 tahun silam, tepatnya 10 Desember 1948 adalah
momentum Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (Universal Declaration on Human
Rights). Hari bersejarah bagi perjuangan klas dimana seluruh negeri baik
sosialis maupun imperialis mengakui adanya hak setiap manusia baik sebagai bangsa
dan individu. Pengakuan bahwa rakyat punya hak untuk bebas dan merdeka, berpikir
dan bekerja meraih kemajuan secara ekonomi, politik dan kebudayaan. Kini,
setiap 10 Desember diperingati sebagai Hari Hak Asasi Manusia Internasional
(International Human Rights Day).
Sejak
awal abad 20 dan masih hingga sekarang, di awal abad 21, mayoritas bangsa dan
rakyat se-dunia menjadi korban dominasi
kapitalisme yang telah menjadi sangat kejam, membusuk, sekarat dan parasitis
yaitu, sistem kapitalisme monopoli internasional atau imperialisme. Di bawah
dominasi imperialisme, mayoritas rakyat tidak memiliki hak, bahkan harapannya
di lapangan ekonomi, politik dan kebudayaan ditindas oleh negeri adikuasa
Amerika Serikat dan sekutunya. Sementara di dalam negerinya sendiri harus
berhadapan dengan pemerintahan yang bergantung pada dikte imperialis adikuasa atau
menjadi pemerintahan boneka imperialis yang tidak kalah kejamnya.
Imperialisme
bertanggung jawab atas banyaknya pengangguran, kemiskinan dan kelaparan serta
lahirnya berbagai jenis pembagian kerja baru dan berbagai cara mencari hidup
yang ekstrem sulitnya di dunia. Dalam rentang waktu yang panjang tersebut,
bangsa dan rakyat tertindas dan terhisap se-dunia menjadi korban sekaligus
saksi dari ketimpangan kepemilikan, ketimpangan kedudukan dalam produksi dan
alokasi yang sangat tidak adil dalam pengusahaan distribusi hasil kerja secara
merata. Karena itu mereka berusaha bangkit membebaskan diri sepenuhnya dari
cengkeraman sistem tersebut dan sistem setengah jajahan dan setengah feodal.
Ketika klas buruh dan para pekerja lainnya juga bangsa-bangsa mulai bangkit
kesadarannya dan memberontak untuk menghancurkan sistem ini, kebebasan
berorganisasi dan berpendapat, hak untuk memberontak segera dibatasi dan
dibeberapa negeri dinyatakan sebagai makar atau subversif. Dan hak untuk
membangun sistem baru yang berbeda harus berhadapan dengan perang agresi dan
intervensi imperialis.
Imperialisme
dunia dibawah adikuasa tunggal AS adalah masalah pokok bangsa dan rakyat tertindas dan terhisap di dunia.
Sistem ini melestarikan kesenjangan klas dan krisis, mengukuhkan hak istimewa
bagi segelintir klas bermilik atas kekayaan dunia. Saat ini, 1% orang menguasai
kekayaan yang setara bagi 60% rakyat dunia atau lebih dari 4,6 miliar orang. Rakyat
mayoritas tak bermilik kehilangan hak dan kebebasan bekerja, berfikir, dan
menentukan nasibnya secara independent. Mereka hidup dari menjual tenaga dimana
hasilnya dinikmati oleh segelintir orang yang menguasai kapital uang dan barang
(tanah dan mesin industri). Meski menghadapi krisis terburuk dalam sejarah,
dominasi imperialism AS belum tergantikan.
Mayoritas
rakyat Indonesia adalah kaum tani, bekerja dan bergantung hidup pada tanah
garapan yang cukup, berharap input pertanian dan sistem irigasi yang murah, dan
tenaga kerja pertanian dengan
pengetahuan maju dan terampil serta teknologi dan alat pertanian yang maju.
Akan tetapi kenyataan berlawan dengan kepentingan dan aspirasi mayoritas kaum
tani.
Di
Indonesia, angka kesenjangan lahan mencapai
0,68% (BPS, 2013). Artinya, 1% tuan tanah besar menguasai 68% tanah pertanian. Sebagaian
besar dikuasai oleh tuan tanah besar yang terhubung langsung dengan imperialis.
Mereka menggunakan tanah tersebut untuk operasional perkebunan besar sawit,
perkebunan kayu besar, perkebunan karet, perkebunan besar tebu, pertambangan
besar dan taman nasional. Keadaan ini menyebabkan 70% persen poluasi Indonesia hidup
sebagai kaum tani yang mayoritasnya adalah tani miskin dan buruh tani yang dipaksa
hidup berdampingan dengan tuan tanah besar. Mereka kehilangan hak menentukan
tanaman produksi, distribusi, harga hasil produksi, bahkan kehilangan
kesempatan berfikir, mengembangkan pengetahuan dan kemampuan subsistensinya. Hari
demi hari, semakin tenggelam dalam penghisapan sewa tanah dalam sistem
pertanian setengah feodal, utamanya bagi hasil yang tidak adil, peribaan dalam
produksi dan perdagangan, serta upah buruh tani yang extrim rendahnya.
Klas buruh merupakan 20% dari populasi Indonesia yang hidup
di perkotaan tak berhak bekerja dalam industri modern dan maju. Karena yang ada
hanya manufaktur pengolahan setengah jadi (semi-processing) untuk komoditas
ekspor murah mengandalkan teknologi rakitan (assembling) dan terbelakang. Mereka
tidak berhak atas kondisi kerja yang baik apalagi mendapatkan bayaran sesuai hasil
kerjanya. Tenaga buruh dihargai dengan upah sangat rendah, yang hanya cukup
untuk bertahan hidup seadanya.
Kondisi ini semakin buruk dalam resesi dan pandemi. Upah buruh
industrial semakin dipangkas, upah buruh tani ditekan rendah, riba utang
semakin mencekik. Sedangkan harga kebutuhan hidup, produksi pertanian dan biaya
layanan publik semakin fluktuatif bahkan meningkat. 3,5 juta orang kehilangan
pekerjaan bahkan terus bertambah, 30 juta pedagang kecil bangkrut, tetapi hak
atas pekerjaan yang baru semakin tertutup. Pemerintah bahkan sudah memperkirakan
bahwa di tahun 2021, pengangguran akan semakin meningkat.
Keterpurukan rakyat secara ekonomi juga diiringi dengan
hilangnya hak rakyat untuk melawan sistem yang buruk. Sebagai manusia, rakyat
memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri (Right to Self Determination),
berhak bebas dari penghisapan dan penindasan sistem yang tidak adil, termasuk menentang
dominasi imperialisme yang lapuk dan sistem setengah jajahan di Indonesia saat
ini.
Joe Biden yang akan menggantikan presiden
Donald Trump akan memimpin pemulihan krisis imperialis. Rakyat di seluruh dunia
dipaksa menanggung beban krisis melalui pemaksaan utang dan investasi AS, serta
intervensi politik dan militer. Namun, hal ini tidak lagi mudah. Imperialis AS semakin
sulit mendamaikan kontradiksi yang menajam di dalam tubuhnya, begitupun dengan kekuatan
baru yang tumbuh dan negeri-negeri lainnya yang menolak tunduk dibawah sistem
kapitalisme. Tentangan atas agresi dan intervensi AS juga semakin menguat di
berbagai belahan dunia. Perlawanan rakyat di dalam negeri AS dan seluruh dunia terus
tumbuh, meluas, dan semakin memerosotkan imperialis AS ke dalam jurang
kehancuran. Meski demikian, semua ini belum cukup untuk membebaskan rakyat dan
mengembalikan hak-hak yang telah dirampas.
Imperialis
AS bersama Institusi keuangannya, World Bank telah memastikan pemerintahan
Boneka Jokowi-Ma’ruf untuk mengimplementasikan secara penuh program dan
kebijakan baru neoliberal di Indonesia melalui UU No.11 tahun 2020 tentang
Cipta Kerja (omnibus Law). Indonesia juga telah berkomitmen melayani program
strategis AS dalam “Visi Bersama bagi Kebebasan dan Keterbukaan di Kawasan
Indo-Pasifik (Shared Vision of a Free and Open Indo-Pacific Region”). Program
yang melayani keleluasaan AS atas lalu lintas laut, zona terbang, kontrol
perdagangan dan menekan pergerakan China dan kekuatan lainnya. Sedangkan untuk
jaminan keberlanjutan ekspor komoditas bagi pasar AS, Indonesia telah
mendapatkan perpanjangan Generalized System of Preferences (GSP) facility dari
pemerintah AS. Fasilitas GSP akan semakin memperkuat politik upah murah dan
beban kerja berlipat bagi klas buruh untuk melayani produksi komoditas ekspor
barang murah.
Krisis
dan pandemi Covid-19 justru dimanfaatkan untuk mengeruk keuntungan bagi
korporasi imperialis dan tuan tanah besar. Masa pandemic kini memasuki babak
baru setelah penerapan lockdown dan pengambilan utang besar-besaran. Indonesia
dan berbagai negeri lainnya menjadi pasar untuk akumulasi keuntungan dari
bisnis vaksin milik farmasi imperialis, khususnya AS. Vaksin Pfizer (AS), Astra
Vineca (Inggris) dan Sinopex (China) siap dipasarkan dengan dalih pemulihan
kesehatan dan pencegahan Covid-19 di Indonesia.
Pemerintah
Indonesia tidak mau belajar dari kegagalan akibat ketergantungan pada
imperialis. Indonesia kini menempati peringkat ke-7 dari 120 negara dengan
utang luar negeri terbesar. Ekonomi Indonesia jatuh ke jurang resesi sejak kuartal-II tahun 2020 dan
berlanjut pada kuartal- III
dengan pertumbuhan negatif 3,49
%. Pandemic Covid-19 dimanfaatkan untuk menindas hak-hak rakyat dan membungkam
gerakan rakyat yang menentang penghisapan dan penindasan. Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 Tahun 2020 tentang
Pembatasan Sosial Berskala Besar dikeluarkan tanggal 31 Maret 2020 tentang PSBB
dan Pemulihan Ekonomi Nasional dan Penanganan COVID-19.
Kenyataannya, kehidupan
rakyat justru semakin merosot. Rakyat semakin sulit memenuhi kebutuhan
hidupnya karena pendapatan sangat rendah bahkan tidak ada. Di bawah
pemerintahan Jokowi, tindasan dan perampasan hak-hak rakyat di masa pandemic
terus meningkat. Periode pemerintahan Jokowi, berbagai kasus pelanggaran HAM
terus meningkat dan ditangani secara diskriminatif dengan menggunakan kekuatan
negara (alat kekerasan) secara berlebihan. Laporan World Report 2020 oleh Human
Rights Watch menunjukkan kasus-kasus yang menjadi bukti berbagai bentuk
pelanggaran terahdap hak sipil politik, yakni; kebebasan beragama, kebebasan
berekspresi dan berorganisasi, kak perempuan dan perempuan anak, isu Papua,
identitas gender dan orientasi seksual, hak disabilitas, hak lingkungan, dan
hak masyarakat adat.
Pemerintah
Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik pada
28 Oktober 2005 melalui UU No 12 Tahun 2005 tentang
Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights
(ICCPR). Terhadap Kovenan ini, Indonesia melakukan Deklarasi
yang intinya pemerintah Indonesia tidak mengakui penegakan
Hak Menentukan Nasib Sendiri sebagai sebuah negara yang berdaulat. Namun, semua
kenyataan pahit dari penderitaan dan masalah rakyat di bawah sistem ini harus
membuka kesadaran bahwa rakyat tidak boleh lupa dan kehilangan hak untuk
membangun sistem yang tepat bagi kehidupan dan kemajuan.
Perjuangan
kita ingin menuntaskan kebingungan rakyat diantara sistem “setengah-setengah’
ini, dan berhak menentukan sistem mana yang akan dipakai. Kita tidak akan
mungkin memilih kembali ke feodalisme dimana hanya raja yang memiliki tanah dan
dengan demikian berkuasa atas tenaga kerja. Tidak mungkin juga kembali ke masa
perbudakan dimana rakyat akan dirantai dan sepenuhnya dimiliki oleh tuan budak.
Kita sadar bahwa belum semua rakyat
mengetahui hak-hak mereka. Di saat yang sama, tatanan dunia dibawah dominasi
imperialism, tidak akan memberikan hak-hak tersebut dengan mudah tanpa
perlawanan sengit dari rakyat dan berbagai bangsa. Di negeri yang menyatakan
merdeka dan maju sekalipun, hak-hak rakyat tidak terpenuhi, apalagi di
Indonesia sebagai negeri setengah jajahan setengah feudal.
Tetapi rakyat tidak tinggal diam. Dengan segala bentuk dan
kemampuannya, aksi protes dan perlawanan terus tumbuh. Tuntutan untuk mengganti
sistem terus meluas. Ketidakpercayaan terhadap rezim merupakan ekspresi
utamanya. Meski dengan berbagai intimidasi, kriminalisasi dan kekerasan, rakyat
di perkotaan dan pedesaan terus menunjukkan keberanian berlawan. Ekspresi ini
harus disambut dengan pengorganisasian yang lebih kuat dan maju. Secara khusus,
situasi di Indonesia membutuhkan bantuan dan dukungan secara internasional
untuk memperbesar perjuangan rakyat dalam rangka menjalankan land reform sejati
dan industri nasional untuk kemajuan hidup rakyat.
Dengan
kenyataan ini, di Hari Hak Asasi Manusia Internasional, Front Perjuangan Rakyat (FPR) menyatakan
tuntutan kepada pemerintah Indonesia, yakni:
1.
Penuhi hak rakyat atas tanah, pekerjaan, dan kekayaan
alam untuk memajukan kesejahteraan rakyat
2.
Hentikan segala bentuk tindasan terhadap hak rakyat atas
kebebasan berpikir, berpendapat, berorganisasi, hak menentukan nasib sendiri
bagi rakyat Indonesia.
3.
Bagi Hasil yang adil bagi para penggarap di
perkebunan besar kayu, sawit, karet, gula, komoditas ekspor lainnya milik
Imperialis dan Tuan Tanah Besar tingkat nasional.
4.
Berikan Upah Buruh Tani yang lebih baik di
perkebunan besar milik Imperialis dan Tuan Tanah besar tingkat nasional.
5.
Hapuskan Peribaan di Pedesaan.
6.
Perbaiki harga komoditas dan harga keperluan
hidup kaum tani.
7.
Sediakan Input Pertanian, peternakan dan
perikanan dari industri nasional sendiri, bukan produksi paten di bawah lisensi
dan tidak berbahan baku impor serta tidak bersumber pada pendanaan hutang dan
investasi asing.
8.
Sediakan Alat-Alat Pertanian Modern yang mudah
di akses oleh kaum tani.
9.
Sediakan Sistem Pendidikan dan Kesehatan yang
lebih baik di Pedesaan. Sediakan Rumah sakit bersalin dan pusat perawatan
anak-anak yang maju, murah dan mudah di jangkau di seluruh pedesaan Indonesia.
10.
Hapus semua pajak atas seluruh komoditas kaum
tani
11.
Berikan kompensasi kepada kaum tani yang
terdampak Covid 19 11.Hentikan pengakuan nominal atas tanah-tanah ulayat di
pedalaman Indonesia yang bertujuan untuk pembatasan kekuasaan Suku Bangsa
Minoritas dan mempermudah perampasan tanah untuk perkebunan besar, HPH,
pertambangan dan infrastruktur.