BREAKING
Tampilkan postingan dengan label Publikasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Publikasi. Tampilkan semua postingan

Selasa, 15 November 2016

Seruni Mengutuk Aksi Pelemparan BOM Samarinda Yang Barbar dan Tidak Pandang Bulu Yang Mengorbankan Perempuan Dan Anak-Anak Serta Rakyat Yang Tidak Bersalah

Hari Minggu tanggal 13 November 2016, pukul 10.00, sebuah bom Molotov dilemparkan oleh orang yang tidak dikenal terhadap Gereja Oikoumene di Samarinda. Bom meledak dan membakar pelataran dan tempat parkir tepat pada saat jemaat sedang keluar dari Gereja dan anak-anak sedang asyik bermain. Satu bayi berumur di bawah lima tahun (BALITA) meninggal dunia dan 4 BALITA lainnya mengalami luka bakar serius. Intan Olivia Banjarnaho berumur 2,5 tahun, meregang nyawa setelah tubuh mungilnya mengalami lukar bakar 60%; Triniti Hutahaya berumur 3 tahun masih kritis dengan luka bakar parah 60%; Anita Kristobel Sihotang berumur 2 tahun dan Alvaro Aurelius Tristan berumur 4 tahun juga mengalami luka bakar. Pelaku yang ditangkap bernama Juhanda sebagaimana rilis Kepolisian Negara (POLRI) adalah pelaku Bom Buku pada tahun 2011 dan bebas dengan potongan masa tahanan (remisi) pada tahun 2014.       

Apa pun motifnya, siapapun pelaku termasuk dalang dibalik semua peristiwa ini, kejadian sangat barbar, kejam tidak pandang bulu ini harus diadili dan dihukum seberat-beratnya. 1 BALITA meninggal dunia dan 4 BALITA mengalami lukar parah, penderitaan ibu dan keluarga besarnya, teror atas kebebasan beragama dan ketakutan seluruh rakyat bukan peristiwa kriminal biasa. Ini adalah bencana kemanusiaan nasional, nyawa meskipun satu dan lebih-lebih anak-anak yang harus meninggal dengan cara seperti itu tidak boleh dibiarkan layaknya peristiwa biasa dan dibiasakan.

Peristiwa ini menunjukan untuk kesekian kalinya, negara gagal memberikan perlindungan pada rakyat khususnya anak-anak. Hal ini menambah daftar panjang krisis kronis anak-anak dan perempuan serta rakyat umumnya yang telah hidup dalam penderitaan karena hak-hak dasarnya yang tidak dipenuhi oleh negara seperti pendidikan anak, kesehatan, dan kebebasan bermain dan bebas dari berbagai bentuk kekerasan dan tekanan. Justru karena berbagai ketidak mampuan negara dan penderitaan panjang yang diderita bangsa dan rakyat Indonesia, secara langsung maupun tidak langsung negara telah menjadi akar kelahiran kekerasan barbar yang tidak pandang bulu. 

Seruni, sebagai serikat perempuan nasional, yang berjuang memajukan dan membela kepentingan dan hak peremuan dan anak-anak utamanya perempuan dan anak-anak miskin di perkotaan dan pedesaan menuntut :

1. Berikan pelayanan kesehatan terbaik dan cuma-Cuma bagi anak-anak yang masih terbaring di rumah sakit maupun di rumahnya, serta mengganti seluruh biaya yang telah dikeluarkan serta memberikan jaminan hidup bagi keluarganya yang tidak bisa bekerja karena kejadian ini.

2. Ganti seluruh biaya perawatan dan penguburan kepada keluarga Intan Olivia Banjarnaho, beri jaminan hidup dan perawatan psikologis (trauma healing) bagi ibunya juga bapaknya yang mengalami penderitaan. Hal yang sama diberikan pada ibu korban lainnya.

3. Tangkap, Adili dan Hukum seberat-beratnya pelaku dan dalang dibalik Bom Molotov tersebut. Kepolisian harus memberikan keterangan seterang-terangnya pada rakyat.

4. Negara harus memberikan perlindungan bagi rakyat tanpa pandang bulu, menjamin kebebasan beragama dan menjalankan peribadatan.

5. Negara harus menuntaskan krisis ekonomi, politik dan kebudayaan secara sungguh-sungguh sebagai akar sesungguhnya dari berbagai tindakan kekerasan yang mengemuka di desa dan kota serta menjadikan rakyat yang telah menderita dalam waktu yang lama sebagai korban.

Menyerukan kepada seluruh kaum perempuan dan rakyat agar memberikan solidaritas dan sokongan penuh pada keluarga korban dan bersama-sama berjuang menyelesaikan soal perempuan, anak dan rakyat yang sangat kronis di negeri ini.   

Hidup Perempuan!
Hidup Rakyat!

sumber gambar: surabaya.tribunnews.com

Senin, 19 September 2016

Organisasi Masyarakat Sipil Nonton Bareng Pidato Eni Lestari Pada Pembukaan KTT PBB

Organisasi Masyarakat Sipil Nonton Bareng Pidato Eni Lestari Pada Pembukaan KTT PBB















Beberapa organisasi masyarakat sipil, termasuk SERUNI, melaksanakan kegiatan nonton bareng menyaksikan Eni Lestari, seorang Buruh Migran asal Indonesia, menyampaikan pidatonya pada Pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi PBB mengenai Pengungsi dan Migran, 19 September 2016 di New York.

Eni Lestari menyampaikan pidatonya didepan lebih dari 150 petinggi negara, termasuk petinggi negara Indonesia. Menyampaikan persoalan buruh migran dan solusi yang mereka inginkan. 

Kegiatan nonton bareng ini dilaksanakan melalui saluran televisi online PBB. Menurut informasi yang berhasil di himpun, kegiatan nonton bareng ini dilaksanakan di beberapa wilayah yaitu di Jakarta, Pekanbaru, Surabaya, Wonosobo, Mataram, Ponorogo, Jambi, Lampung, Sulawesi dan Hong Kong. 

Kegiatan nonton bareng ini dimaksudkan sebagai bentuk dukungan kepada Eni Lestari dan perjuangan buruh migran seluruh dunia, khususnya Indonesia. Selesai nonton bareng, masing-masing wilayah melaksanakan diskusi dan kegiatan kebudayaan. Momentum ini merupakan momentum yang sangat penting untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan kesadaran masyarakat mengenai keadaan dan perjuangan buruh migran. 

Sebagaimana yang disampaikan oleh Eni dalam pidatonya mengenai sebab terjadinya migrasi:

"Tetapi krisis yang semakin memburuk berdampak pada keluarga saya di Indonesia dan jutaan rakyat miskin, dimana kami dihadapkan tiap harinya dengan kenyataan pengangguran, kurangnya kesempatan pendidikan, lemahnya pelayanan sosial, kehilangan tanah dan kemiskinan yang semakin mendalam.  

Seperti yang dialami banyak orang, kami tidak punya pilihan selain bekerja di luar negeri sebagai pekerja rumah tangga. Supaya saya bisa memberi makanan, membayar utang orang tua dan memasukkan saudara saya ke sekolah."

Pada diskusi yang dilaksanakan di Surabaya, Nanang, AGRA Donomulyo memaparkan bahwa desanya adalah kantong buruh migran karena banyaknya petani yg terjebak hutang kepada tengkulak dan bank dengan menggadaikan sertifikat tanah untuk membiayai produksi pertanian. Sehingga untuk menebus sertifikat tersebut, banyak kaum pemuda khususnya perempuan yg menjadi BMI

Demikian pula disampaikan oleh Kanzul, mahasiswa Ubaya asal Turen Malang,  Ia memaparkan bahwa di desanya banyak anak-anak kecil berwajah indo hasil perkawinan antara BMI dengan "bule". Sementara, Pemuda desanya tidak lebih dari 5% yg sanggup kuliah seperti dia

Sementara, Hery, mahasiswa Unesa, memaparkan bahwa dia bisa kuliah di Surabaya karena dibiayai kakaknya yg bekerja menjadi BMI di Hong Kong. Kakaknya juga mendapat potongan 7 bulan gaji sehingga setiap bulan hanya menerima uang Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah) dari upahnya sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah).

Senada dengan itu, Linda dari LBH Unsiq Wonosobo menyampaikan bahwa terdapat kebijakan hukum yang tidak berpihak pada buruh migran, sehingga korban buruh migran terus berguguran tapi PJTKI tidak pernah tersentuh oleh hukum. Sementara, Mereka (buruh migran-pen) berangkat karena keterpaksaan. 

Perasaan bangga menyelimuti peserta nonton bareng tersebut. Bangga karena Buruh Migran bisa menyampaikan pandangan mereka pada forum tinggi tingkat dunia. Tentu saja, perasaan bangga ini juga bertambah karena Eni Lestari adalah buruh migran asal Indonesia. 

Harapan akan perubahan, baik di dalam negeri maupun diluar negeri terus bertambah. Solidaritas perjuangan rakyat semakin kuat. Semoga, kehidupan rakyat di dalam negeri dan di luar negeri akan semakin membaik seiring dengan semakin kuatnya perjuangan yang dilaksanakan. 

Minggu, 18 September 2016

Pernyataan Sikap Serikat Perempuan Indonesia (SERUNI) pada
Peringatan Hari Perempuan Internasional 2016

“perkuat organisasi dan gerakan perempuan untuk berjuang bersama rakyat melawan kebijakan neoliberal”

Salam Demokrasi!

Perempuan memiliki sejarah panjang terlibat dalam perjuangan. Momentum Hari Perempuan Internasional yang diperingati setiap 8 Maret merupakan salah satu penanda sejarah mengenai hal ini. Perempuan sejak lama telah mengklaim hak mereka untuk berjuang bersama-sama dengan gerakan rakyat lainnya.

“Bread and Peace!” Roti dan Perdamaian! Demikian teriakan perempuan mulai tahun 1907 di Rusia. Gerakan perempuan di Rusia terlibat aktif dalam meruntuhkan kekuasaan Tsar Rusia yang kejam dengan membawa isu roti dan perdamaian. Pertemuan gerakan perempuan di tahun 1910 di Copenhagen, Denmark merupakan tanda bahwa perempuan telah mengenal perjuangan, persatuan dan solidaritas internasional. Hingga terjadinya Revolusi Besar Oktober di Rusia menjadi penanda dan kemudian disepakatinya 8 Maret sebagai Hari Perempuan Internasional. Jauh sebelum itu, ditahun 1857, para buruh perempuan di Amerika Serikat telah melaksanakan aksi dan membangun gerakan menuntut kondisi kerja yang lebih baik dan kenaikan upah.

Dari masa ke masa, perempuan di seluruh dunia terus mengalami penindasan dan penghisapan dan mereka pun terus berdiri dan berjuang.

Penerapan kebijakan neoliberal yang semakin masif di Indonesia telah meningkatkan persoalan yang dialami oleh perempuan. Pembangunan infrastruktur sebagai program utama Pemerintahan Jokowi-JK telah banyak merampas tanah dan penghidupan rakyat pedesaan. Berdampak berkali-kali lipat terhadap perempuan yang harus kehilangan sumber pendapatan, sementara manfaat pembangunan-pembangunan tersebut tidak mereka rasakan.

Pukulan yang telak bagi perempuan adalah ketika terjadi pencabutan subsidi publik, misalkan pencabutan subsidi BBM, bertujuan untuk mendanai pembangunan infrastruktur yang kemudian merampas dan menggusur tanah mereka. Hak rakyat dan perempuan untuk mendapatkan layanan sosial publik telah dirampas dan kemudian hasil rampasan tersebut dipergunakan untuk membuat mereka lebih termarjinalkan.

Pencabutan subsidi publik pun telah menjauhkan akses bagi kaum miskin perkotaan terhadap layanan kesehatan, makanan bergizi, air bersih, listrik, pendidikan dan sebagainya.

Akibat kemiskinan yang dihasilkan oleh monopoli dan perampasan tanah untuk memfasilitasi pelaksanaaan kebijakan neoliberal di dalam negeri, banyak kaum perempuan yang menjadi korban perdagangan manusia, terpaksa bekerja hingga ke luar negeri, terjerat hutang, prostitusi atau di kawin paksa.

Meskipun dikatakan tidak ada ijin baru untuk perkebunan sawit, namun pada kenyataannya investasi berbasiskan lahan skala besar di Indonesia terus terjadi. Sampai tahun 2014, monopoli kawasan hutan dari 4 (empat) sektor saja telah mencapai 57 juta hektar dari total 132 juta hektar kawasan hutan Indonesia. Dimana sektor HPH (logging) menguasai 25 juta hektar oleh setidaknya 303 perusahaan. HTI seluas 10,1 juta hektar yang dikuasai sekitar 262 perusahaan, perkebunan sawit seluas 12,3 juta hektar yang dikuasai oleh sekitar 1.605 perusahaan dan sektor tambang sekitar 3,2 juta hektar dikuasai oleh sekitar 1.755 perusahaan.

Monopoli tanah telah mengakibatkan semakin sedikitnya lapangan pekerjaan yang tersedia untuk rakyat Indonesia sehingga kaum buruh dan pekerja termasuk perempuan harus berhadapan dengan politik upah murah yang dibanggakan oleh Pemerintahan Jokowi-JK sebagai salah satu keunggulan apabila melakukan investasi di Indonesia. Hasilnya, kaum perempuan harus terus bekerja dengan upah yang rendah dan kondisi kerja yang buruk, dengan sedikit sekali perhatian terhadap hak-hak reproduksi perempuan. Sementara bagi kaum perempuan intelektual, sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya dan berakhir menjadi pengangguran.

Deforestasi, degradasi kawasan hutan dan lahan gambut hingga terjadinya kebakaran hutan yang mengakibatkan bencana asap merupakan dampak lain dari monopoli tanah yang semuanya merugikan rakyat.

Konflik agraria pun bermunculan di berbagai pelosok. Perjuangan rakyat termasuk perempuan didalamnya, terus berkembang dan menuntut hak mereka untuk hidup dan mempertahankan hidup. Perjuangan rakyat ini ditindas sedemikian rupa melalui berbagai cara termasuk didalamnya kriminalisasi, militerisasi dan pembatasan hak politik rakyat untuk berjuang. Telah banyak kaum tani, buruh dan mahasiswa yang menjadi korban.

Pada momentum Hari Perempuan Internasional ini, sangat penting bagi kaum perempuan untuk menegaskan komitmen untuk memperkuat organisasi dan gerakan perempuan untuk berjuang bersama rakyat melawan kebijakan neoliberal yang menindas.

Serikat Perempuan Indonesia menyatakan sikap bahwa Pemerintahan Jokowi-JK harus menghentikan pelaksanakan kebijakan neoliberal di dalam negeri dan segera melaksanakan land reform sejati serta membangun industri nasional.

Imperialisme, hancurkan!
Feodalisme, musnahkan!
Kapital birokrat, musuh rakyat!
Maju terus gerakan perempuan dan rakyat Indonesia!
Jayalah perjuangan perempuan dan rakyat Indonesia!

Indonesia, 8 Maret 2016
Serikat Perempuan Indonesia
Dewi Amelia (081220294565)


Selasa, 07 Juli 2015

Video Humanity Tragedy of Jatigede


Video Kesaksian Warga Jatigede


Senin, 13 April 2015

Berikan Hak Rakyat Jatigede Kabupaten Sumedang Atas Pembangunan Waduk Jatigede!!!


Mendukung Perjuangan Rakyat Jatigede untuk Mendapatkan Hak-Haknya!!!

Proyek pembangunan waduk jatigede sejak tahun 1963 hingga saat ini menimbulkan permasalahan yang kompleks. Waduk dibangun diatas tanah seluas 6.783 hektare terdiri atas lahan hutan 1.200 hektare dan 28 desa dari 5 kecamatan. Dan total wilayah yang akan digenangi air seluas 4.000 hektare dengan sekitar 11.000 KK terkena dampak dan 28 desa akan digenangi, 6 desa akan ditenggelamkan demi waduk. Lahan yang digenangi otomatis akan menghilangkan lahan produktif pertanian yang menjadi sumber penghidupan warga dan mengusir warga dari tempat tinggalnya. Termasuk menggusur fasilitas sosial dan fasilitas umum serta situs-situs budaya warisan sejarah bangsa Indonesia di Jatigede dan sumber daya yang ada disana.

Melalui Perpres No. 1 Tahun 2015 Tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Pembangunan Waduk Jatigede, Jokowi bermaksud melakukan ganti rugi berupa uang dan mengabaikan hak rakyat untuk mendapatkan relokasi dan berkegiatan seperti pada saat sebelum waduk dibangun. “Tidak ada jaminan kelangsungan hidup rakyat setelah digusur karena pembangunan waduk, selain uang yang dijanjikan oleh Jokowi” tutur Dewi Amelia, Ketua Seruni.

Dalam hal pembangunan, harus ada mekanisme yang tetap menguntungkan rakyat. Proses ganti rugi menggunakan uang semata, adalah cara berpikir yang keliru, dikarenakan terdapat persoalan hak ekonomi, sosial dan kebudayaan yang tidak bisa dihitung atau digantikan dengan nilai uang. “apabila pembangunan berdampak pada pemiskinan rakyat, dapatkah itu disebut pembangunan?” ujar Dewi Amelia.

Dengan metode yang digunakan saat ini, dapat dipastikan perempuan Jatigede akan mengalami kesulitan. Sebagai perempuan, mereka tidak pernah dilibatkan dalam proses perencanaan pembangunan waduk dan penyelesaian dampak sosialnya. Dengan berbagai perannya dalam keluarga dan masyarakat, perempuan lagi-lagi diposisikan sekedar menerima dan harus berjibaku mengatasi persoalan yang sudah didepan mata.

Wilayah Jatigede merupakan daerah penghasil padi di Kabupaten Sumedang. Tercatat 30% kebutuhan beras Sumedang dapat dipenuhi oleh produksi padi dari Jatigede. Ki Mun, seorang petani yang terkena dampak pembangunan waduk menuturkan “Jokowi tidak serius dengan program kedaulatan pangannya, buktinya lahan produktif disini akan ditenggelamkan”.

Oleh karena itu, SERUNI (Serikat Perempuan Indonesia) mendukung penuh perjuangan warga Jatigede untuk mendapatkan hak-haknya dan menuntut pemerintah untuk membatalkan Perpres No. 1 tahun 2015 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Pembangunan Waduk Jatigede yang merugikan rakyat dan memberikan hak rakyat secara penuh sesuai dengan standar hak asasi manusia dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat Jatigede.

Ketua SERUNI (Serikat Perempuan Indonesia)
Bandung, 14 April 2015





Dewi Amelia Eka Putri

Seruni : Akademisi Jangan Jadi Kaki Tangan Imperialis


BANDUNG, KabarKampus – Serikat Perempuan Indonesia (Seruni) menyerukan kepada akademisi agar mengabdikan ilmunya untuk kesejahteraan rakyat. Bukan menjadi kaki tangan imperialis dengan melegimasi ekploitasi Sumber Daya Alam Indonesia.
Pernyataan Seruni ini terkait dengan dijadikannya para akademisi dari Universtas Gadjah Mada (UGM) dan Institut Teknologi Bandung (ITB) sebagai saksi ahli dalam perkara gugatan warga Rembang terhadap Gubernur Jawa Tengah yang mengijinkan kegiatan penambangan di Rembang. Para saksi ahli  ini dianggap telah mengamini penambangan yang oleh PT Semen Indonesia di Rembang.
“Mereka menyatakan bahwa pegunungan gamping di Rembang termasuk dalam kawasan karst muda yang masif, padat dan bersifat kedap air, batuan tersebut tidak mengandung air tanah, sehingga dapat dikelola termasuk untuk kegiatan penambangan dalam perkara gugatan warga Rembang terhadap Gubernur Jawa Tengah,” kata Dewi Amelia, Ketua Seruni kepada KabarKampus, Sabtu, (11/04/2015)
Padahal kata Dewi, di lapangan ditemukan ratusan mata air, gua, dan sungai bawah tanah yang masih mengalir dan mempunyai debit yang bagus, serta fosil-fosil yang menempel pada dinding gua.
“Lagi-lagi akademisi dan perguruan tinggi menjadi kaki tangan kapitalis untuk mencari legitimasi atas pengerukan SDA Indonesia yang jelas memiliki dampak negatif terhadap penghidupan rakyat” terang Dewi.
Dewi menegaskan, seharusnya perguruan tinggi dan akademisi berperan menjadi jembatan dalam mengatasi permasalahan dan problem pokok rakyat. Bukan sebaliknya, dengan pengetahuannya malah merugikan rakyat dengan berbagai penelitian yang menjadi legitimasi dalam pengerukan SDA yang hanya menguntungkan segelintir orang.
“Eksploitasi dan Eksplorasi terhadap SDA sejatinya juga merupakan eksploitasi dan eksplorasi terhadap SDM, karena beriringan dengan perampasan tanah, sumber daya alam, dan dijalankannya politik upah murah yang tidak memberikan jaminan kehidupan yang layak terhadap para pekerja,” ungkap Dewi.
http://kabarkampus.com/2015/04/seruni-akademisi-jangan-jadi-kaki-tangan-imperialis/ 

Berikan HAK Pendidikan bagi Murid SD Moro Dewe!!!


Pendidikan adalah hak warga negara yang telah dijamin oleh konstitusi dan wajib diselenggarakan oleh negara. Hak mendapatkan pendidikan merupakan hak bagi seluruh rakyat tanpa perbedaan kemampuan ekonomi, suku, dalam wilayah konflik ataupun lainnya.

Tidak diakuinya Sekolah Dasar Moro Dewe oleh pemerintah dikarenakan SD tersebut dibangun secara mandiri oleh rakyat Moro Dewe Register 45 dan berada di wilayah konflik agraria merupakan pengkhianatan terhadap konstitusi dan hak rakyat atas pendidikan, utamanya untuk anak-anak.

Pemekaran kabupaten yang sejatinya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan akses rakyat atas layanan publik ternyata telah menimbulkan persoalan terampasnya hak anak-anak SD Moro Dewe untuk mendapatkan pendidikan. Bupati Mesuji bersikukuh tidak mau mengeluarkan ijin pengindukan dengan kelas jauh (filial) untuk SD Moro Dewe dengan dasar hukum UU No. 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberatasan Perusakan Hutan dan UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Bupati menyatakan akan menerima pengindukan dan memberikan pelayanan kelas jauh jika ada surat keputusan dari menteri kehutanan terkait ijin pelayanan pendidikan di kawasan hutan. “Hal ini menunjukkan sikap Bupati yang hanya memikirkan perusahaan tapi tidak memikirkan nasib pendidikan anak di lokasi itu” ujar Dewi Amelia, Ketua SERUNI.

Perempuan memiliki banyak peran dalam masyarakat dan keluarganya, salah satunya adalah memastikan anak-anak mendapatkan pendidikan yang layak. Perempuan di Moro Dewe sedemikian rupa telah memperjuangkan berjalannya proses belajar mengajar di SD Moro Dewe. Bersama dengan rakyat di Moro Dewe, perempuan telah terlibat langsung dalam pembangunan SD tersebut. “Para Ibu di Moro Dewe memiliki cita-cita yang sama dengan para Ibu lainnya di seluruh Indonesia, yaitu memberikan pendidikan yang tinggi untuk anak-anaknya agar kelak bisa membangun bangsa” papar Dewi Amelia.

SERUNI mengutuk keras sikap Bupati Mesuji yang lebih berpihak kepada perusahaan dan memilih tidak mempedulikan hak pendidikan anak-anak Moro Dewe. Pendidikan harus terus berjalan meskipun berada di dalam wilayah konflik agraria karena pendidikan adalah hak konstitusional rakyat Indonesia.

SERUNI juga menyerukan kepada seluruh rakyat dan perempuan di seluruh Indonesia dan luar negeri untuk memberikan dukungan kepada masyarakat dan murid SD Moro Dewe agar tetap bisa mendapatkan haknya atas pendidikan dan menolak perampasan hak atas pendidikan dengan mengirimkan SMS ke nomor 0821-8402-1237 (Kabid Dikdas), 0813-6902-0807 (Kepala Dinas Pendidikan) dan 0811-7258-03 (Bupati Mesuji Khamamik).

Dengan format: Nama (Lembaga) – asal domisili – dukungan atas pendidikan terhadap murid SD Moro Dewe.
Contoh: Dewi Amelia (Serikat Perempuan Indonesia) di Bandung, terbitkan SK Bupati untuk proses belajar mengajar tetap di SD Moro Dewe!!!

(NB: Jika Kawan-Kawan ingin berminat ke Sekolah Moro-Moro, dapat menghubungi kontak Agung Lampung 0896-7088-7155)

Bandung, 11 April 2015
Ketua SERUNI,



Dewi Amelia Eka Putri
Cp: 0856 5930 1640

Akademisi (harus) Berdiri Disisi Rakyat



Masih berjuang dengan gigih para warga Rembang dan sekitarnya menolak eksploitasi dan eksplorasi tambang yang dilakukan oleh Pabrik Semen Indonesia di Rembang terkait rencana pembangunannya disana. Pendirian pabrik semen akan berdampak pada hilangnya lahan pertanian sehingga petani dan buruh tani akan kehilangan lapangan pekerjaannya dan juga akan menurunkan produktivitas sektor pertanian pada wilayah sekitar karena dampak buruk yang timbul seperti matinya sumber mata air, polusi debu dan terganggungnya ekosistem alam.

PT. Semen Indonesia menggunakan akademisi dari perguruan tinggi –UGM dan ITB– untuk membenarkan penambangan yang mereka rencanakan dan sedang ditolak oleh rakyat Rembang. Para akademisi menjadi saksi ahli pada persidangan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang dalam perkara gugatan warga Rembang terhadap Gubernur Jawa Barat terkait penerbitan ijin lingkungan kegiatan penambangan dan pembangunan pabrik semen oleh PT Semen Indonesia, mereka menyatakan bahwa pegunungan gamping di Rembang termasuk dalam kawasan karst muda yang masif, padat dan bersifat kedap air, batuan tersebut tidak mengandung air tanah, sehingga dapat dikelola termasuk untuk kegiatan penambangan dalam perkara gugatan warga Rembang terhadap Gubernur Jawa Tengah. Sementara di lapangan ditemukan ratusan mata air, gua, dan sungai bawah tanah yang masih mengalir dan mempunyai debit yang bagus, serta fosil-fosil yang menempel pada dinding gua. Warga Rembang dan Lasem menggunakan jasa Perusahaan Daerah Air Minum  (PDAM) yang mengambil air dari gunung watuputih jika terjadi proses produksi semen berpotensi merusak sumber daya air yang berperan sangat penting bagi kehidupan rakyat.

“lagi-lagi akademisi dan perguruan tinggi menjadi kaki tangan kapitalis untuk mencari legitimasi atas pengerukan SDA Indonesia yang jelas memiliki dampak negatif terhadap penghidupan rakyat” ujar Dewi Amelia. Pada hari Jum’at 10 April 2015 akademisi ITB dan PT Semen Indonesia mengadakan Stadium General (kuliah umum) ditengah perjuangan rakyat Rembang menolak pendirian pabrik semen yang berpotensi sangat merugikan dan memiliki dampak negatif yang besar.

“Peran perguruan tinggi dan akademisi seharusnya menjadi jembatan dalam mengatasi permasalahan dan problem pokok rakyat, bukan sebaliknya, dengan pengetahuannya malah merugikan rakyat dengan berbagai penelitian yang menjadi legitimasi dalam pengerukan SDA yang hanya menguntungkan segelintir orang” lanjut Dewi Amelia.

Eksploitasi dan eksplorasi terhadap Sumber Daya Alam selama ini tidak pernah memberikan keuntungan bagi rakyat, Eksploitasi dan Eksplorasi terhadap SDA sejatinya juga merupakan eksploitasi dan eksplorasi terhadap SDM, karena beriringan dengan perampasan tanah, sumber daya alam, dan dijalankannya politik upah murah yang tidak memberikan jaminan kehidupan yang layak terhadap para pekerja.

Untuk itu, Serikat Perempuan Indonesia (SERUNI) menyerukan kepada Perguruan Tinggi dan para akademisi agar mengabdikan ilmunya untuk kesejahteraan rakyat dan tidak menjadi kepanjangan tangan dari Imperialis dengan memberikan legitimasi atas eksploitasi dan eksplorasi Sumber Daya Alam Indonesia.

Bandung, 10 April 2015
Koordinator SERUNI



Dewi Amelia Eka Putri
Cp: 0856 5930 1640

Kamis, 20 November 2014

Logo


Selasa, 18 November 2014

Seruni Tolak Penaikan Harga BBM

Serikat Perempuan Indonesia menolak rencana penaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi, karena penaikan harga itu diperkirakan membuat kehidupan kaum tani semakin sulit dan miskin.
"Subsidi itu adalah tanggung jawab negara, pemerintah salah menerapkan konsep subsidi. Sebagai tanggung jawab negara, maka semua rakyat berhak menikmati subsidi," kata Dewi Amelia, Ketua Seruni, saat dihubungi di Jakarta, Senin [25/8].
Menurut Dewi, penaikan harga bahan bakar tentu akan berpengaruh kepada kehidupan petani. Harga bahan pokok yang dibutuhkan petani melambung berkali lipat.
Sementara, hasil produksi pertanian mereka tak dihargai sebagaimana semestinya. Akibatnya, lebih besar pasak daripada tiang, artinya biaya produksi lebih besar dibanding hasil penjualan produk pertanian kaum tani.
"Desa itu kan jauh ke mana-mana, ketika kaum tani ingin membeli kebutuhan pokok, maka harganya melambung karena ongkosnya naik. Paling kena dampak penaikan harga itu ya desa," kata Dewi.
Pada Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara 2015, anggaran subsidi dialokasikan Rp 433,5 triliun. Untuk subsidi energi Rp 363,5 triliun dan non-subsidi Rp 70 triliun.
Khusus untuk subsidi bahan bakar adalah Rp 291,1 triliun dan inilah yang disebut membebani APBN dan terkesan akan membuat negara akan hancur apabila tidak dicabut. Solusi yang diwacanakan pemerintah untuk mengurangi beban APBN adalah menaikkan harga bahan bakar.
Kebijakan seperti ini juga sudah pernah dilakukan pada 2013, alasannya juga sama: membebani APBN. Itu sebabnya harga bahan bakar dinaikkan dengan tujuan mensejahterakan rakyat walau kenyataannya jumlah kemiskinan meningkat.
Pada 2013, subsidi bahan bakar adalah Rp 193,8 triliun, karena dianggap membebani, harga bahan bakar dinaikkan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik jumlah orang miskin ketika itu 28 juta orang, namun meningkat menjadi 30,250 juta orang akibat penaikan harga bahan bakar.

Foto :Antara/Rudi Mulya
sumber: http://geotimes.co.id/bisnis/bisnis-news/energi/8536-seruni-tolak-penaikan-harga-bbm.html

Seruni Keliling Indonesia Gugat Kedaulatan Pangan

BANDUNG, KabarKampus - Serikat Perempuan Indonesia (Seruni) meluncurkan program jurnal keliling perempuan (women’s travelling journal) di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, (21/08/2014). Sesuai dengan nama programnya, Jurnal Keliling Perempuan ini akan berkeliling ke lima provinsi di Indonesia.
Seruni akan memulai perjalanan dari Jambi menuju Riau, Kalimantan Barat, Jawa Timur dan akan berakhir di Jawa Barat. Mereka akan berpindah tempat dari satu kampung ke kampung lainnya dan akan diisi oleh perempuan desa secara langsung.
Jurnal Keliling Perempuan mengusung tema “Perempuan Menggugat Kedaulatan Pangan”. Dalam kegiatan ini mereka akan merekam dan mendokumentasikan kehidupan sehari-hari perempuan desa sebagai ibu, petani, anak, anggota organisasi dan bagian dari masyarakat dan pikiran perempuan mengenai kedaulatan pangan.
Dewi Amelia, Ketua Seruni menuturkan, 65% pangan Indonesia masih berasal dari impor yang seharusnya bisa diproduksi di dalam negeri. Selain itu, laju alih fungsi lahan di Indonesia sangat tinggi. Setiap tahunnya Indonesia kehilangan 10% lahan pertanian.
“Kedaulatan pangan tidak semata tersedianya pangan untuk kebutuhan rakyat, namun kedaulatan pangan adalah tersedianya pangan oleh produksi dalam negeri oleh kaum tani Indonesia dan berorientasi untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional,” tambah Dewi.
Dalam program tersebut, menurut Dewi, selain mendokumentasikan dan merekam pandangan, pikiran dan pengalaman pribadi perempuan desa, hasil penulisan Jurnal Keliling Perempuan ini akan diolah dan disebarluaskan kepada masyarakat, pembuat kebijakan dan pembuat opini sehingga mampu menjadi bahan acuan, masukan dan sumber informasi untuk menimbulkan kesadaran mengenai keadaan perempuan desa dan kedaulatan pangan dan kebijakan yang lebih baik untuk pertanian. Tidak hanya akan disebarluaskan di Indonesia, hasil penulisan Jurnal Keliling ini juga akan dibawa ke markas Organisasi Pangan Dunia (FAO) di Roma pada bulan Oktober mendatang dalam rapat Komite Ketahanan Pangan Dunia yang ke 41.
Sumber: http://kabarkampus.com/2014/08/seruni-keliling-indonesia-gugat-kedaulatan-pangan/

Seruni Riau Terlibat dalam Program Women's Travelling Journal


PEKANBARU, GORIAU.COM - Serikat Perempuan Indonesia (Seruni) Riau ikut berpartisipasi dalam program Women's Travelling Journal atau Jurnal Keliling Perempuan. Ada 5 provinsi yang terlibat dalam program ini, Jambi, Kalimantan Barat, Jawa Timur, Jawa Barat dan Riau.

Demikian dikatakan Ketua Seruni Riau, Widya Astuti, Selasa (26/08/2014). Menurutnya, jurnal ini akan mendokumentasikan kehidupan sehari-hari perempuan desa, petani, anak, anggota organisasi dan bagian dari masyarakat tentang pikiran mereka mengenai kedaulan pangan. "Sesuai dengan programnya, jurnal keliling perempuan ini akan berkeliling ke lima provinsi yang dilibatkan," terang Widya.

Menurut Ketua Seruni Indonesia, Dewi Amelia yang berkunjung ke Pekanbaru, pada tahun 2013, Seruni yang tergabung dalam Asian Rural Women Coalition (ARWC) telah terlibat dalam inisiatif yang sama. Saat itu jurnal melakukan perjalanan di delapan negara Asia termasuk Indonesia. Suryati, perempuan desa asal Jawa Barat terpilih mengisi jurnal tersebut.

"Program Jurnal Keliling Perempuan merupakan sebuah inisiatif yang berada di bawah kampanye yang bertemakan Perempuan Menuntut Hak Atas Tanah dan Sumber Daya. Program ini diluncurkan pada 21 Agustus lalu di Bandung," jelas Dewi.

Menurut Ketua Seruni Riau, perempuan yang akan mengisi jurnal dari Riau salah satunya adalah Kasmini, petani perempuan asal Desa Kota Garo, Kabupaten Kampar. "Ibu Kas adalah seorang petani perempuan yang juga ketua kelompok tani yang aktif berorganisasi. Perannya sangat dirasakan oleh petani perempuan di Dusun Pencing tempatnya tinggal," tandas Widya. (wdu)

http://www.goriau.com/berita/umum/seruni-riau-terlibat-dalam-program-womens-travelling-journal.html

Patriarchy


 
Copyright © 2013 SERUNI
Design by FBTemplates | BTT