BREAKING

Rabu, 03 Oktober 2018

Mengecam Penggusuran Paksa dan Tidak Sah pada Warga Kampung Darussalam Yang Dilakukan Dinas Pendidikan Kota Tangerang dan Kecamatan Batuceper



Mengecam Penggusuran Paksa dan Tidak Sah pada Warga Kampung Darussalam Yang Dilakukan Dinas Pendidikan Kota Tangerang dan Kecamatan Batuceper

Konflik sengketa lahan terjadi antara warga yang bermukim di belakang SDN 1 Batuceper dan Pihak Kecamatan Batuceper serta pihak Dinas Pendidikan Kota Tangerang. Warga yang berpotensi menjadi korban dan kehilangan hak atas tempat tinggalnya sendiri berjumlah 10 KK (seluruhnya berjumlah 35 orang, termasuk 9 wanita dan 12 anak).

Warga yang saat ini menempati lahan yang berloksi di belakang SDN 1 Batuceper sendiri sudah menempati lahan tersebur sejak tahun 1981 dan merupakan para ahli waris dari korban penggusuran akibat pelebaran jalan yang dilakukan oleh PLN yang terjadi pada tahun 1981 yang sebelumnya menempati tanah dan bangunan seluas 380 m2 yang beralamat di Batujaya Utara RT.003 / RW.003 Kel. Batujaya, kec. Batuceper sejak tahun 1959. Tanah yang ditempati oleh warga saat ini sendiri merupakan ganti rugi akibat penggusuran tersebut dan diberikan oleh Pemerintah Desa saat itu melalui sebuah surat. Selama menempati lahan yang berlokasi di belakang SDN 1 Batuceper warga pun selalu melakukan pembayaran PBB tiap tahunnya.

Pada tahun 2005 para warga yang direlokasi ke belakang SDN 1 Batuceper diminta membuat surat pernyataan bahwa memang menempati tanah milik SDN Batujaya dan Batuceper 1. Karena pada saat itu warga buta hukum dan tidak memahami maksud dari surat tersebut mereka hanya menuliskan identitas diri dan tanda tangan diatas surat yang sudah di format.

Pada tahun 2017 warga mendapat surat pemberitahuan pengosongan lahan dari SDN Batujaya, kemudian pada tanggal 5 Juli 2018 mendapat lagi surat teguran untuk mengosongkan rumah dan Dinas Pendidikan. Tanggal 21 September 2018 warga kembali mendapat surat permohonan penertiban pengosongan lahan dari Dinas Pendidikan. Pengosongan akan dilakukan pada 26 September 2018.

Hingga saat ini warga sendiri belum pernah diajak bermusyawarah mengenai pengosongan lahan miliknya tersebut oleh Pemerintah Daerah Tangerang. Pemerintah Daerah dan Dinas Pendidikan juga hanya menawarkan ganti kerugian sebesar Rp.2.500.000,- / rumah (seluruhnya berjumlah 4 rumah). Warga kemudian menyurati Walikota Tangerang meminta penjelasan mengenai dasar penggusuran oleh kecamatan namun tidak mendapatkan respon. Bahkan pada 22 September 2018 warga mendatangi rumah Wakil Walikota Tangerang untuk menanyakan hal terkait tanah yang merka tempati, namun tidak mendapat penjelasan, wakil walikota hanya menyampaikan bahwa ia hanya menjalankan tugas. Wakil walikota kemudian meminta pihak kecamatan untuk menunda pengosongan sampai tanggal 1 Oktober 2018. Pada tanggal 1 Oktober 2018 warga kembali mendapat surat dari pihak Kecamatan Batu Ceper dan diberikan waktu hingga tanggal 3 Oktober 2018 untuk meninggalkan lahan tersebut.

Pada hari rabu, 3 Oktober 2018, aparat gabungan yang terdiri satpol PP, Polisi dan Tni yang berjumlah sekitar 200 orang bersama orang dinas, datang pada pukul 9.00 pagi. Warga yang membuat barikade sejak pagi langsung didorong oleh aparat gabungan hingga ke ujung gang dan terjadi pemukulan pada massa aksi ketika terjadi negosiasi. Aparat berulang kali mengatakan pada warga agar melalui proses hokum, namun aparat sendiri tidak melalui proses hukum dengan mengintimidasi keluarga dan tim Komite Anti Penggusuran Batu Ceper.

Disaat yang bersamaan juga, warga yang dinilai banyak melakukan argumentasi beserta pengacara dari LBH yang mencoba berbicara mewakili warga, didorong masuk secara paksa ke dalam sekolah dan tidak diberikan kesempatan berbicara. Bentrok yang teradi di lokasi menyebabkan 1 orang mahasiswa UKI dari barisan massa aksi pingsan dan 17 orang ditahan.

Massa aksi diantaranya ialah warga yang berjumlah 10KK (sekitar 35 orang) dan solidaritas dari komite tolak penggusuran Batu Ceper ditahan di warung depan sekolah dengan penjagaan dari pihak kepolisian. Mereka dimasukkan paksa kesekolah dan ditahan di warung depan sekolah oleh satpol PP dan aparat kepolisian. Mereka yang ditahan didalam sekolah juga mendapat intimidasi berupa pemukulan oleb satpol PP. Disaat yang bersamaan itu pula alat berat langsung masuk dan langsung melakukan eksekusi rumah warga  tanpa melalui proses negosiasi.

Dengan adanya kasus terserbut warga yang menempati tanah dibelakang SDN 1 Batuceper telah dilanggar sejumlah haknya, seperti Hak atas Perumahan dijamin dalam Undang-Undang Dasar NKRI 1945 Pasal 28H ayat (1), UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman Pasal 5 ayat (1) dan (2), dan Pasal 129, UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM Pasal 40, UU No. 11 Tahun 2005 tentang Hak Ekonomi Sosial Budaya (Ratifikasi Kovenan Internasional Tentang Hak Ekonomi Sosial Budaya) Pasal 11 ayat (1), Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia Pasal 25 ayat (1), Konvensi Tentang Penghapusan Segala Jenis Diskriminasi Terhadap Perempuan Pasal 14 ayat (2) huruf g dan h, Konvensi Hak Anak Pasal 27 Ayat 3, General Comment No. 4 tentang Hak atas Tempat Tinggal yang Layak, General comment No. 7 (1997) tentang Hak atas Tempat Tinggal yang Layak: Pengusiran Paksa.

Semua instrumen hukum dan hak asasi manusia, baik dalam regulasi nasional maupun regulasi internasional diatas menunjukan bahwa penggusuran secara paksa merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Lebih lanjut, berdasarkan pada resolusi 1993/77a, tentang Forced Eviction (panggusuran secara paksa) adalah pelanggaran berat HAM, terutama hak akan tempat tinggal yang memadai. Perlu menjadi penekanan yang harus diperhatikan, bahwa tanggung jawab pemenuhan hak asasi manusia merupakan tanggung jawab negara, baik dalam jajaran pemerintah pusat maupun daerah.

Selain kasus pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh warga, juga terdapat berbagai pelanggaran hukum. Adapun peraturan perundang-undangan yang dilanggar adalah meliputi Pelanggaran Terhadap PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP Pendaftaran Tanah”) dan Pelanggaran Pasal 1963 KUHPerdata. Dimana berdasarkan ke dua peraturan perundang-undangan tersebut, warga merupakan pihak yang paling berhak mendaftarkan tanahnya di Badan Pertanahan Nasional. Hal ini didasarkan pada penguasaan bidang tanah oleh warga sejak Tahun 1959 dan perlu diperhatikan bahwa meskipun tidak mempunyai sertifikat, warga menguasai tanah tersebut dengan itikad baik yakni melalui pemberian tanah titisara pada tahun 1959.

Sementara itu, disisi lain Pemda Tangerang tidak pernah menunjukkan alas hak (sertifikat) yang dimilikinya sebagai bukti kepemilikan sah untuk meminta pembongkaran. Hal tersebut bertentangan dengan bahwa Pasal 49 Ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyatakan tanah yang dikuasai Pemerintah Pusat/Daerah harus disertifikatkan. “Barang milik negara/daerah yang berupa tanah yang dikuasai Pemerintah Pusat/Daerah harus disertifikatkan atas nama pemerintah Republik Indonesia/pemerintah daerah yang bersangkutan.

Untuk itu, Komite Eksekutif Nasional Seruni menyatakan MENGECAM penggusuran paksa yang dilakukan pihak dinas pendidikan kota Tangerang dan Kecamatan Batu Ceper dan bebaskan massa aksi yang ditahan oleh aparat kepolisian dan satpol PP tanpa syarat.


Hormat kami
Komite Eksekutif Nasional SERUNI


KETUA                                                                                               SEKJEND


 Helda Khasmy                                                                               Triana Kurnia Wardani






About ""

SERUNI atau Serikat Perempuan Indonesia adalah organisasi perempuan yang memiliki cita-cita kesetaraan gender dan kehidupan lebih baik bagi perempuan Indonesia.

Posting Komentar

 
Copyright © 2013 SERUNI
Design by FBTemplates | BTT