BREAKING

Jumat, 09 Agustus 2019

Asap Lagi, Cuci Tangan Lagi, Lempar Tanggung Jawab Lagi

Sudah lama kaum tani, karena negara membiarkan mereka bekerja  dengan keterbatasan pengetahuan dan teknologi secara berkelanjutan di pedesaan, membakar lahan untuk produksi pangan skala kecil untuk memenuhi kebutuhan hidup sendiri dan keluarga. Tetapi tidak pernah ada asap dari pembakaran itu yang memasuki Pekan Baru, Pontianak, Palangkaraya, Jambi, Palembang, Merambah Pemukiman Padat dan melintasi laut menciptakan awan di langit Singapura dan Malaysia. Tidak ada ISPA, penyakit sesak pernapasan, karena praktek menahun dan tradisional itu. Yang ada “hanya penyakit kemiskinan menahun” !

Sejak kolonial dan berlanjut selama era Orde Baru dan tidak ada yang  berubah hingga sekarang. Kaum tani dikirim dari Jawa ke Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi dibiayai Bank Dunia, ADB dan IMF melalui program transmigrasi diminta membuka lahan, membakarnya dan menanam tanaman komoditas. Tanaman komoditas seperti kayu industri, karet dan kelapa sawit membutuhkan tenaga dan biaya sangat besar. Dengan keterbatasan pengetahuan dan teknologi budidaya Indonesia, jangankan kaum tani kecil, pekebunan besar pun tidak memiliki kapital investasi mengembangkan perkebunan komoditas semacam itu tanpa membakar !

Sekarang, “kayu telah jadi arang lainnya jadi debu”, jangan sembarang bicara, jangan sembarang membuat peraturan dan menerapkannya tanpa pandang bulu. Pengetahuan dan teknologi apa yang telah diberikan negara dan pemerintah pada kaum tani kecil yang terbiasa memanfaatkan gambut tipis untuk tanaman pangan tanpa perlu membakar agar tetap bisa menanam padi dan jagung ? Bila tidak boleh membakar, mereka harus tanam apa, memasak apa, makan apa, membakar siapa ? !!!!

Menanam tanaman komoditas seperti kayu industri, kelapa sawit dan karet demi melayani kepentingan super-profit tuan tanah besar Indonesia dan imperialis di tengah keterbatasan pengetahuan dan teknologi, keterbatasan investasi dalam negeri dan segalanya serba utang, apa lagi caranya menciptakan efesiensi dan efektifitas dalam produksi pertanian terbelakang seperti Indonesia ? Lihatlah, kebakaran hanya terjadi di pusat perkebunan-perkebunan komoditas itu di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi dan sebentar lagi Papua. Tidak ada kebakaran di areal persawahan, kebun durian dan dukuh orang melayu Riau, Palembang dan Jambi !

Siapapun yang  jadi presiden, gubernur dan bupati yang membawahi teritorial dan keadaan ini harus mengakui, memahami dan menangani  kenyataan ini dengan berani. Jangan bilang dan tidak cukup hanya mengatakan :”saya malu dengan negeri tetangga Singapura, sebentar lagi saya berkunjung ke sana, kemudian dengan segala cara menghentikan asap mengerahkan TNI dan POLRI, menangkap kaum tani dan memberi peringatan pada Tuan Tanah Besar”. Dia harus menangani masalah ini dengan menangani masalah PERTANIAN TERBELAKANG Indonensia secara fundamental. Menyediakan pengetahuan dan tekonologi yang cukup, menyediakan input dan investasi pertanian yang berasal dari kapital dalam negeri bukan dari utang asing yang membuat orang terbebani membayar utang dan pendek pikir. Bila tidak, hentikan penanaman komoditas warisan Van Den Bosch ini !

Siapapun jadi presiden, gubernur dan bupati yang membawahi teritorial dan keadaan ini harus mengakui, memahami dan menangani keadaan ini dengan berani. Tidak ada gunanya mengatakan “bukan saya, bukan zaman saya, yang mengeluarkan izin perkebunan besar komoditas sawit, karet dan kayu industri itu. Atau secara berlebihan dan terus-menerus membanggakan, mengulang-ulang percapaian sementara, terbatas dan pasti akan kembali ke kondisi sediakala lagi karena tidak ada proposal dan penanganan fundamental atas masalah ini.

Masalah asap tidak bisa ditangani dengan menyembunyikan masalah, dengan mengalihkan masalah. Dengan membuat foto betapa heroiknya TNI dan POLRI bertarung memadamkan api kemudian berharap empati dan simpati, atau betapa sigapnya tim penaganan kebakaran hutan perusahaan perkebunan membantu tenaga dan biaya memadamkan api, atau dengan program desa siaga api dan memposting secara berkelanjutan pekerjaan Badan Restorasi Gambut membangun sistem pengairan manual yang sangat imut di beberapa titik di tengah-tengah lautan gambut kering.

Masalah asap adalah masalah laten, kronis dan melekat pada sistem pertanian tradisional yang khas negeri agraris non industrial yang terbelakang. Masalah ini akan selalu ada dan tidak akan bisa diselesaikan selama sistem pertanian terbelakang yang dipaksakan menanam komoditas oleh perkebunan besar yang memonopoli tanah sangat luas dengan pengetahuan, teknologi, dan investasi terbatas demi kepentingan industrial imperialis. Kemudian kaum tani dengan lahan se-hektar dan dua hektar diikut sertakan juga, padahal beli beras dengan hasil komoditas dengan lahan terbatas sangatlah sulit. Tuan tanah besar berlahan luas tidak peduli dengan harga komoditas internasional dia hanya peduli dengan kelancaran ekspor CPO, Karet dan kayu-bubur kertas dan kertas, impor kapital, dan pembebasan pajak. Petani kecil berlahan terbatas sangat fokus sama harga komoditas agar cukup ditukar beras karena tidak lagi tanam padi, jagung, karena gambut tipis di mana ladang leluhurnya juga ikut dilarang dibakar, sagu pun sudah habis ditebang.

Bank Dunia memberitahu kita bahwa Indonesia selama 2015 mengalami kebakaran lahan 2 juta hektar lebih dengan kerugian 200 trilyun lebih. Dia salah besar, kita rugi $ U.S 19 Trilyun ! sejumlah PDB Amerika Serikat. Indonesia sangat besar dan kaya karena keterbatasan dalam segala hal, termasuk budidaya pertanian yang sangat terbelakang, kita kehilangan PDB yang seharusnya, sekurang-kurangnya sama besarnya dengan PDB Amerika Serikat dan bahkan cukup syarat melampaui itu !

Sekarang menangani asap berarti menangani sistem pertanian Indonensia, tidak bisa dipisah-pisah. Menangani asap berarti merombak sistem pertanian sekarang, merombak monopoli tanah dan tanaman komoditas yang sepenuhnya mengabdi pada kepentingan tuan tanah besar dan imperialisme sebagai pemilik modal atau kapitalnya. Menangani asap berarti menangani penghidupan kaum tani kecil perseorangan yang berlahan sangat kecil bahkan memiliki lahan gambut tipis yang hanya bisa dibakar untuk ditanami yang sekarang dilarang. Mereka butuh makan dan kebutuhan hidup pengganti larangan yang diterapkan, untuk makan hari ini, untuk sekolah dan kesehatan keluarganya saat ini dan ke depan. Hanya itu yang akan membuat ISPA, asap masuk kota dan menyeberang hingga ke Singapura akan dapat dihentikan.


Bagi para kaum intelektual dan kalangan yang menyebut dirinya aktivis lingkungan hidup, mengertilah. Semua yang ada di dunia ini pasti akan tetap lestari apabila segala yang ada di dalamnya dipergunakan untuk kepentingan hidup atau dikonsumsi semata, secara wajar untuk membebaskan dan memajukan hidup rakyat. Rakyat akan memelihara semua yang dimakan, semua yang dipergunakan, pangan, kayu dan sumber sandangannya secara lestari. Tetapi pelestarian hanya mimpi, termasuk lahan gambut dan hutan, bila diperuntukan untuk mengejar keuntungan super-profit, menuruti keserakahan “bersertifikat” para tuan tanah dan pemilik kapitalnya, bank dan institusi keuangan dari negeri imperialis. Bila apa yang ada di Indonesia tidak lagi bisa diakses dan dikonsumsi, dipergunakan rakyat luas jangan pernah harap dia akan lestari !

Hanya kehancuran monopoli di satu sisi dan Hanya kebebasan dan kemajuan rakyatlah yang bisa menghentikan asap dan penyakit sosial dan alam di negeri ini. Dan tidak ada pilihan saat ini, selain ambil bagian penuh membangkitkan, menggerakkan dan mengorganisasikan gerakan rakyat.

Bagi Gerakan Rakyat yang terus tumbuh dan berkembang, persoalan menghancurkan monopoli atas tanah yang menyebabkan bencana asap bukan persoalan mudah, bahkan sangat sulit. Menyerahkan pada negara untuk bisa menghancurkan monopoli atas tanah adalah pekerjaan mustahil yang bisa di lakukan oleh negara ini di saat mereka hanya menjadi boneka bagi kepentingan kapitalis monopoli international. Sejarah peradaban umat manusia telah membuktikan dan memberi pelajaran bahwa perubahan fundamental atas nasib rakyat hanya dapat dilakukan oleh gerakan rakyat yang militan bukan di meja perundingan. Layani rakyat yang menjadi korban asap, suarakan tuntutan-tuntutan rakyat, organisasikan diri dalam organisasi rakyat yang militan dan raih kemenangan kecil sebagai amunisi untuk mencapai kemenangan besar nan sejati demi generasi kita nanti. 

   Helda Khasmy                 Triana K. Wardani
           Ketua                                    Sekjend



About ""

SERUNI atau Serikat Perempuan Indonesia adalah organisasi perempuan yang memiliki cita-cita kesetaraan gender dan kehidupan lebih baik bagi perempuan Indonesia.

Posting Komentar

 
Copyright © 2013 SERUNI
Design by FBTemplates | BTT