BREAKING

Selasa, 24 November 2020

  

Pernyataan Sikap

Front Perjuangan Rakyat (FPR)

 

Bebaskan Rakyat Dan Bangsa Seluruh Dunia Dari Kekuasaan Imperialisme-Membebask an Perempuan Dari Kekerasan Selamanya!

 

Sikap Dan Tuntutan

Dalam Rangka Memperingati Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Sedunia

25 November 2020

 

Ayo Sama Berjuang Untuk Menghancurkan Imperialisme Sebagai Syarat Untuk Membangun Sistem Baru Sesuai Aspirasi Kebebasan Dan Kemajuan Perempuan Dan Seluruh Rakyat Dan Bangsa Tertindas Dan Terhisap Di Indonesia dan Dunia

 

Salam Demokrasi Rakyat,

 

Peringatan Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan 25 November 2020 adalah bagian dari serial kampanye massa organisasi dan gerakan massa demokratis nasional dengan Hari Hak Asasi Manusia 10 Desember 2020 sebagai puncaknya.

 

Kita memperingati Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan Hari Hak Asasi Manusia Internasional kali ini secara tidak biasa, di tengah resesi dan Pandemi Covid-19. Resesi dan Pandemi Covid-19 tidak saja memberikan beban ganda bagi kaum perempuan, tetapi melipatgandakan penindasan dan penghisapan NEGARA dan Klas yang berkuasa-pemilik negara melalui beragam bentuk diskriminasi dan pelestarian kekuasaan Patriarki kaum laki-laki atas perempuan yang berkelanjutan. Bahkan NEGARA dan klas reaksioner yang berkuasa secara berkelanjutan tidak segan-segan menggunakan agama dan “masyarakat” untuk memperkokoh dominasinya atas kaum perempuan, agar tidak kemana-mana, tetap menjadi penjunjung sistemnya apapun keadaannya.

 

Sekarang dunia telah berada di abad-21. Kekerasan terhadap kaum perempuan jangankan berkurang dan menghilang, bentuk dan intensitasnya justru terus bertambah, semakin barbar dan brutal. Bahkan beberapa bentuk dari kekerasan itu telah dianggap sebagai tradisi suci dan mulia yang harus dipertahankan dengan berbagai dalih. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) masih terus memelihara bahkan tidak henti-hentinya membuat badan-badan khusus bagi kaum perempuan seperti U.N Women dalam setiap organ kekuasaan politik, ekonomi dan kebudayaannya. Cerminan dari kegagalan bahkan kepalsuan sistematis dalam mewujudkan kesetaraan antara kaum perempuan dengan kaum laki-laki dalam kebebasan dan kemajuan bersama.

 

Kekerasan terhadap kaum perempuan adalah kekerasan paling tua, brutal dan primitif dalam sejarah perkembangan masyarakat di dunia. Ia adalah warisan dari masyarakat berklas pertama, masyarakat kepemilikan budak yang masih bersisa. Kekerasan terhadap kaum perempuan memiliki karakter klas, basis ekonomi dan politik yang hanya ada dalam masyarakat berklas. Perjuangan mengakhiri kekerasan terhadap kaum perempuan hanya dapat dilakukan dengan jalan mengakhiri basis ekonomi, politik, kebudayaan bahkan kemiliteran yang membenarkan kedudukan kaum perempuan sebagai barang dagangan atau komoditas, sebagai harta dan perhiasan, dikecualikan dari kepemilikan atas alat produksi dan tetap direndahkan partipasinya dalam kerja dan disikriminasi dalam pembagian hasil kerja. Bagaimana pun tinggi dan hebat puja-pujinya negara dan klas yang berkuasa pada kaum perempuan hanyalah rayuan belaka dan deklarasi machoisme untuk kepentingan kekuasaan klas berkuasa itu sendiri. Tidaklah mengherankan, Laporan U.N Women 2020 menyebutkan bahwa negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat menunjukkan angka kekerasan naik berkali-lipat selama resesi dan Pandemi Covid-19. Mereka tidak bisa mempertahankan kebersamaan dengan pasangannya. Kekerasan primitif dan brutal seperti kekerasan seksual bahkan oleh orang terdekat dari pasangan sendiri dan keluarga terdekat meningkat tajam perlahan menjadi fenomena biasa. Kekerasan di wilayah perang tidak perlu dijelaskan lagi. Badan Pengadilan Internasional sebagai pelaksana Protokol Perang Internasional tidak bisa menghakimi tentara manapun yang melakukan kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak.

   

Imperialisme, sistem dunia yang berkuasa saat ini adalah bentuk tertinggi dan penghabisan dari kapitalisme yang tengah sekarat atau sakaratul-maut, parasitisme dan terus membusuk. Di tengah krisisnya yang parah dan tidak terobati, kekerasan terhadap perempuan justru menjadi salah-satu alasan penting sistem ini bisa bertahan hidup hingga sekarang. Kekerasan terhadap perempuan hanya akan berakhir apabila dominasi imperialisme atas bangsa dan rakyat di dunia bisa dihancurkan. Kenyataannya, mayoritas tenaga produktif seluruh bangsa dan rakyat itu adalah kaum perempuan! 

 

Penindasan dan penghisapan terhadap kaum perempuan di Indonesia memiliki sejarah panjang, semakin kelam dari waktu ke waktu. Negara reaksioner milik klas borjuasi besar komprador dan tuan tanah besar, dua klas kaki tangan imperialis di Indonesia melestarikan diskriminasi, sistem patriarkal kaum laki-laki, menggunakan agama dan masyarakat untuk menindas dan menghisap kaum perempuan. Jutaan keluarga di Indonesia menikah dan berpisah karena alasan kekerasan. Pernikahan di bawah umur masih berlangsung, satu dari lima gadis belia terpaksa menikah karena  kekerasan seksual berbagai bentuknya yang berakar pada masalah ekonomi, politik dan pengetahuan yang terbatas. Jutaan perempuan mempertahankan keluarganya dan membiarkan kekerasan terus berlangsung untuk menghindari kekerasan yang lebih akut, tindasan agama dan perlakuan masyarakat yang sepenuhnya didominasi ide dan pikiran klas yang berkuasa.

 

Di Indonesia, mayoritas kaum perempuan tidak memiliki kebebasan secara ekonomi, karenanya tidak memiliki syarat memiliki kebebasan secara politik dan kebudayaan. Hanya perempuan dari klas borjuasi besar komprador dan tuan tanah besar yang bisa menikmati kebebasan dengan jalan merampas kebebasan perempuan pekerja lainnya. Mempersoalkan kekerasan yang sudah terlanjur disahkan sebagai haknya suami dan kaum laki-laki sama dengan membuka jalan bagi kekerasan lanjutan yang lebih brutal, aib, kehilangan keluarga dan martabat. Karena itu, meskipun hidup dalam kekerasan, mayoritas kaum perempuan memilih bungkam dan membawa masalahnya sebagai rahasia hingga kematiannya.

 

Penelitian Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN) pada bulan Mei 2020, 95% keluarga di Indonesia khususnya kaum perempuan menderita stres karena Kebijakan Di Rumah Saja atau Isolasi Mandiri dan Pembatasan Mobilitas. Kekerasan terhadap kaum perempuan adalah ekspresi dari kesenjangan ekonomi dan perjuangan klas kaum perempuan dari berbagai klas dan sektor di seluruh dunia dan Indonesia. Berbagai bentuk kekerasan fisik dan fisik masih sangat luas dan intensif bahkan meningkat berkali-lipat karena kebijakan imperialis dan negara bonekanya di seluruh dunia dalam penanganan COVID-19. Isolasi mandiri, pembatasan mobilitas, pelayanan kesehatan bahkan panjangnya waktu yang dihabiskan bersama oleh keluarga, suami-istri dan anak-anak di ruma h, justru semakin menunjukkan kerapuan dan kepalsuan “institusi keluarga” secara ekonomi, politik  maupun kebudayaan. Kehidupan bersama 24 jam di rumah justru menciptakan banyak pertengkaran karena ekonomi, perbedaan pendapat tentang hari depan, sikap, dan akhirnya meningkatkan perpisahan atau perceraian. Protokol Penanganan Kekerasan Atas Perempuan dan Anak hanyalah pelepas tanggung-jawab negara. Dibuat untuk melindungi diri, meunjukkan dirinya seolah-olah komitmen dalam hal anti kekerasan atas perempuan dan anak serta sengaja dibuat untuk menghakimi rakyat jelata.

 

Setelah mempersulit syarat ekonomi bagi kaum perempuan untuk independen secara ekonomi melalui Undang-Undang Omnibus Cipta Kerja No.11 Tahun 2020 yang berarti melipat-gandakan bara dalam sekam kekerasan bagi kaum perempuan,  Pemerintah RI bersama dengan DPR tengah membahas Rancangan Undang-Undang PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual), mencegah kekerasan ! Berikutnya berencana membuat Undang-Undang Ketahanan Keluarga. Memaksa kaum perempuan mempertahankan keluarganya biar pun harus menghadapi kekerasan brutal dan pertengkaran berkelanjutan karena kondisi ekonomi, karena dominasi ide dan pikiran klas yang berkuasa atas ide dan pikiran rakyat tertindas dan terhisap.

 

Kalangan terpelajar, gerakan perempuan konservatif dan feminis liberal meminta undang-undang PKS segera disahkan. Negara dan pemerintah RI serta kalangan perempuan intelektual pendukungnya merasa telah mempersenjatai ibu, gadis dan remaja perempuan, anak-anak perempuan untuk melindungi dirinya dari kekerasan yang sekali lagi berakar pada ketidak-adilan kepemilikan, ketidak-bebasan politik dan budaya. Mereka merasa dengan undang-undang itu, perempuan miskin harta dan pengetahuan serta pengangguran dapat melindunginya di dalam rumah dan di jalanan dari kekerasan brutal fisik dan non-fisik yang mengintai. Undang-undang itu hanyalah perisai bagi klas yang berkuasa yang berlumur kekerasan untuk melindungi diri, melindungi kepentingan klasnya sendiri. Melindungi perempuan dari kekerasan berarti memberikan hak demokratis atau kesetaraan bagi kaum perempuan dalam kepemilikannya atas alat produksi dan kedudukannya dalam hubungan produksi dalam sistem ekonomi yang berlaku. Memberikan kesetaraan bagi kaum perempuan adalah menjamin hak perempuan untuk bebas tanpa syarat ambil bagian dalam kerja politik dan kerja kebudayaan. Pencabutan Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 yang mengatur kedudukan laki-laki beserta hak dan kewajibannya dalam perkawinan memelihara ketimpangan tidak saja secara kebudayaan tetapi secara ekonomi dan politik. Kedudukan semacam itu adalah api dalam sekam bagi kekerasan terhadap perempuan.

  

Klas buruh dan kaum tani sebelum dan terlebih lagi selama pandemi Covid-19 menderita kesulitan ekonomi luar biasa yang membuatnya harus hidup di tengah pusaran kekerasan domestik, kekerasan jalanan karena menningkatnya angka kriminalitas dan bila nanti ambil bagian dalam aksi menuntut perbaikan hidup ia langsung berhadapan dengan kekerasan negara, termasuk kekerasan yang berbasis pada peraturan baru Covid-19. Kaum tani perempuan, buruh perempuan dan para perempuan pedagang dan produser kecil, kaum perempuan interlektual perkotaan demokratis dan profesional menghadapi kesulitan yang sama. Negara RI gagal menyeimbangkan antara harga keperluan pokok impor dengan upah dan pendapatan di pabrik-pabrik dan tempat kerja lainnya. Kebijakan yang diambil, “membiarkan harga” kebutuhan pokok melonjak naik atau sangat fluktuatif, sementara upah dipertahankan secara nominal dan dibekukan kenaikannya dengan berbagai kebijakan dan peraturan. Klas buruh perempuan yang tinggal dengan pasangannya di bedeng-bedeng kumuh terpaksa memilih mempertahankan upah minimum daripada harus kehilangan pekerjaan karena memperjuangkan kekerasan sistematis yang menimpa diri dan kawannya dalam pabrik. Kehilangan pekerjaan dan upah, tidak naiknya upah, naiknya harga keperluan fisik minimum adalah bom waktu bagi lahirnya beragam bentuk kekerasan yang siap meledak kapanpun dalam keluarga dan bisa berujung pada perceraian.

 

Negara dan pemerintah gagal menjalankan land reform sejati, tidak ada kesetaraan kepemilikan tanah di pedesaan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan tetap menghadapi pengecualian dalam kepemilikan dan juga terisolasi dari perjuangan untuk mewujudkan land reform sejati. Saat ini biaya input pertanian terus membengkak dan harga hasil produksinya terus turun dan sangat fluktuatif. Sementara harga keperluan kaum tani yang terus membengkak. Kemiskinan dan pengangguran massal merajalela di pedesaan. Dalam satu keluarga hanya satu dari lima orang yang bekerja. Pertengkaran dalam keluarga pedesaan lebih intensif daripada “makan dan minum”. Hanya keterbatasan pengetahuan, “Agama” dan “pandangan masyarakat” yang masih membuat keluarga masih bersatu di pedesaan. Karena terlalu miskin, tidak ada harapan untuk mengirim anaknya ke sekolah dan universitas, anak-anak kehilangan semangat belajar, mulai bekerja di usia dini, dan sejak itu bapak dan ibunya yang penuh keterbatasan pengetahuan kehilangan otoritas untuk mendidiknya dengan nilai-nilai tradisional yang baik. Kekerasan terhadap anak dan pasangan dimulai dan terus berlangsung intensif serta meluas hingga sekarang.  

 

Di Hari Anti Kekerasan Perempuan 25 November 2020 kali ini, FPR kembali menegaskan bahwa syarat bagi pembebasan kaum perempuan yang sebenarnya adalah hancurnya imperialisme, feodalisme dan kapitalisme birokrat di Indonesia. Kaum perempuan dan laki-laki harus setara dalam kepemilikan atas alat produksi, dalam kerja dan distribusi hasil kerja, dalam kebebasan dan kemajuan. Karenanya kaum perempuan dan bersama-sama dengan seluruh rakyat tertindas dan terhisap lainnya di Indonesia harus bangkit, ambil bagian bebas dalam perjuangan  Land Reform sejati di pedesaan di seluruh Indonesia dan membangun industri nasional sebagai basis bagi kelahiran sistem kemasyarakatan yang bebas, adil dan maju.       

Di Hari Anti Kekerasan Perempuan ini juga FPR dengan tegas menuntut pada negara RI :

 

1.      Bertanggung jawab atas seluruh kekerasan terhadap perempuan di dalam rumah dan keluarga, di jalanan serta di seluruh tempat kerja karena gagal menciptakan syarat bagi kaum perempuan untuk independen secara ekonomi, karena belenggu politik atas kaum perempuan, karena dengan sengaja mendominasi ide dan pikiran kaum perempuan Indonesia dengan ide dan pikiran konservatif dan liberal milik klas berkuasa yang didikte imperialisme.

 

2.      Memberikan akses tanpa syarat bagi anak-anak perempuan, remaja perempuan untuk sekolah dan memasuki universitas tanpa pertimbangan ekonomi, politik dan kebudayaannya.

 

3.      Bertanggung jawab atas pernikahan di bawah umur, dan tidak lagi membiarkannya dengan alasan apapun. Memastikan seluruh kaum perempuan tidak menjadi komoditas dalam proses perkawinan dengan dalih apapun, termasuk menghapus biaya pencatatan pernikahan pada negara.

 

4.      Mencabut seluruh kebijakan dan regulasi yang membuat perempuan tidak setara dengan laki-laki, merendahkan perempuan sebagai tenaga produktif dan dalam produksi. Melenyapkan seluruh diskriminasi atas kepemilikan dan upah untuk pekerjaan yang sama.

 

5.      Menjamin kaum perempuan bebas dari kekerasan untuk ambil bagian dalam organisasi massa demokratis nasional dan ambil bagian dalam aksi massa memperjuangkan hak-hak demokratisnya dalam situasi apapun dan dengan alasan apapun.

 

6.      Beri jaminan ekonomi bagi rakyat khususnya kaum perempuan buruh dan tani tanpa diskkriminasi, guru honorer dan pekerja kesehatan honorer, pedagang dan pengrajin kecil serta kaum intelektual perkotaan.

 

7.      Jalankan land reform sejati dan industri nasional sebagai jalan keluar satu-satunya pembebasan bangsa dan rakyat Indonesia dari sistem terbelakang dan PENUH KEKERASAN-Setengah Jajahan Dan Setengah Feodal.        

 

Demikian pernyataan ini disampaikan untuk dipahami dan dipenuhi.

 

Bersatulah Kaum Perempuan Dari Rakyat Tertindas Dan Terhisap Indonesia !

Kobarkan Perjuangan Demokratis Nasional Untuk Land Reform Sejati Dan Indistri Nasional !

Jayalah FPR.

 

Jakarta, 25 November 2020

 

Hormat kami


 

Rudi HB. Daman Koordinator Umum

 

Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI), Pemuda Baru Indonesia (PEMBARU-Indonesia), Front Mahasiswa Nasional (FMN), Serikat Perempuan Indonesia (SERUNI), Serikat Demokratik Mahasiswa Nasional (SDMN), Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (KABAR BUMI), Institute for National and Democracy Studies (INDIES)

 

Kontak Person Dimas: 085311348678




About ""

SERUNI atau Serikat Perempuan Indonesia adalah organisasi perempuan yang memiliki cita-cita kesetaraan gender dan kehidupan lebih baik bagi perempuan Indonesia.

Posting Komentar

 
Copyright © 2013 SERUNI
Design by FBTemplates | BTT