BREAKING

Rabu, 09 Desember 2020

Pernyataan Sikap dan Tuntutan: KebangkitanDan Persatuan Bangsa dan Rakyat Tertindas dan Terhisap Di Setiap Negeri Adalah Kehancuran Bagi Imperialisme dan Rezim Bonekanya Pemelihara Diskriminasi Hak Dasar-Demokratis Se-Dunia.

 

Mari bersama bangun sistem baru, akhiri dominasi imperialism sebagai akar perampasan hak-hak rakyat terhisap dan tertindas di Indonesia dan dunia.

 

Salam demokrasi nasional,

72 tahun silam, tepatnya 10 Desember 1948 adalah momentum Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (Universal Declaration on Human Rights). Hari bersejarah bagi perjuangan klas dimana seluruh negeri baik sosialis maupun imperialis mengakui adanya hak setiap manusia baik sebagai bangsa dan individu. Pengakuan bahwa rakyat punya hak untuk bebas dan merdeka, berpikir dan bekerja meraih kemajuan secara ekonomi, politik dan kebudayaan. Kini, setiap 10 Desember diperingati sebagai Hari Hak Asasi Manusia Internasional (International Human Rights Day).

Sejak awal abad 20 dan masih hingga sekarang, di awal abad 21, mayoritas bangsa dan rakyat se-dunia  menjadi korban dominasi kapitalisme yang telah menjadi sangat kejam, membusuk, sekarat dan parasitis yaitu, sistem kapitalisme monopoli internasional atau imperialisme. Di bawah dominasi imperialisme, mayoritas rakyat tidak memiliki hak, bahkan harapannya di lapangan ekonomi, politik dan kebudayaan ditindas oleh negeri adikuasa Amerika Serikat dan sekutunya. Sementara di dalam negerinya sendiri harus berhadapan dengan pemerintahan yang bergantung pada dikte imperialis adikuasa atau menjadi pemerintahan boneka imperialis yang tidak kalah kejamnya.

Imperialisme bertanggung jawab atas banyaknya pengangguran, kemiskinan dan kelaparan serta lahirnya berbagai jenis pembagian kerja baru dan berbagai cara mencari hidup yang ekstrem sulitnya di dunia. Dalam rentang waktu yang panjang tersebut, bangsa dan rakyat tertindas dan terhisap se-dunia menjadi korban sekaligus saksi dari ketimpangan kepemilikan, ketimpangan kedudukan dalam produksi dan alokasi yang sangat tidak adil dalam pengusahaan distribusi hasil kerja secara merata. Karena itu mereka berusaha bangkit membebaskan diri sepenuhnya dari cengkeraman sistem tersebut dan sistem setengah jajahan dan setengah feodal. Ketika klas buruh dan para pekerja lainnya juga bangsa-bangsa mulai bangkit kesadarannya dan memberontak untuk menghancurkan sistem ini, kebebasan berorganisasi dan berpendapat, hak untuk memberontak segera dibatasi dan dibeberapa negeri dinyatakan sebagai makar atau subversif. Dan hak untuk membangun sistem baru yang berbeda harus berhadapan dengan perang agresi dan intervensi imperialis. 

Imperialisme dunia dibawah adikuasa tunggal AS adalah masalah pokok bangsa dan rakyat tertindas dan terhisap di dunia. Sistem ini melestarikan kesenjangan klas dan krisis, mengukuhkan hak istimewa bagi segelintir klas bermilik atas kekayaan dunia. Saat ini, 1% orang menguasai kekayaan yang setara bagi 60% rakyat dunia atau lebih dari 4,6 miliar orang. Rakyat mayoritas tak bermilik kehilangan hak dan kebebasan bekerja, berfikir, dan menentukan nasibnya secara independent. Mereka hidup dari menjual tenaga dimana hasilnya dinikmati oleh segelintir orang yang menguasai kapital uang dan barang (tanah dan mesin industri). Meski menghadapi krisis terburuk dalam sejarah, dominasi imperialism AS belum tergantikan.

Mayoritas rakyat Indonesia adalah kaum tani, bekerja dan bergantung hidup pada tanah garapan yang cukup, berharap input pertanian dan sistem irigasi yang murah, dan tenaga  kerja pertanian dengan pengetahuan maju dan terampil serta teknologi dan alat pertanian yang maju. Akan tetapi kenyataan berlawan dengan kepentingan dan aspirasi mayoritas kaum tani.   

Di Indonesia, angka kesenjangan lahan mencapai 0,68% (BPS, 2013). Artinya, 1% tuan tanah besar menguasai 68% tanah pertanian. Sebagaian besar dikuasai oleh tuan tanah besar yang terhubung langsung dengan imperialis. Mereka menggunakan tanah tersebut untuk operasional perkebunan besar sawit, perkebunan kayu besar, perkebunan karet, perkebunan besar tebu, pertambangan besar dan taman nasional. Keadaan ini menyebabkan 70% persen poluasi Indonesia hidup sebagai kaum tani yang mayoritasnya adalah tani miskin dan buruh tani yang dipaksa hidup berdampingan dengan tuan tanah besar. Mereka kehilangan hak menentukan tanaman produksi, distribusi, harga hasil produksi, bahkan kehilangan kesempatan berfikir, mengembangkan pengetahuan dan kemampuan subsistensinya. Hari demi hari, semakin tenggelam dalam penghisapan sewa tanah dalam sistem pertanian setengah feodal, utamanya bagi hasil yang tidak adil, peribaan dalam produksi dan perdagangan, serta upah buruh tani yang extrim rendahnya.

Klas buruh merupakan 20% dari populasi Indonesia yang hidup di perkotaan tak berhak bekerja dalam industri modern dan maju. Karena yang ada hanya manufaktur pengolahan setengah jadi (semi-processing) untuk komoditas ekspor murah mengandalkan teknologi rakitan (assembling) dan terbelakang. Mereka tidak berhak atas kondisi kerja yang baik apalagi mendapatkan bayaran sesuai hasil kerjanya. Tenaga buruh dihargai dengan upah sangat rendah, yang hanya cukup untuk bertahan hidup seadanya.

Kondisi ini semakin buruk dalam resesi dan pandemi. Upah buruh industrial semakin dipangkas, upah buruh tani ditekan rendah, riba utang semakin mencekik. Sedangkan harga kebutuhan hidup, produksi pertanian dan biaya layanan publik semakin fluktuatif bahkan meningkat. 3,5 juta orang kehilangan pekerjaan bahkan terus bertambah, 30 juta pedagang kecil bangkrut, tetapi hak atas pekerjaan yang baru semakin tertutup. Pemerintah bahkan sudah memperkirakan bahwa di tahun 2021, pengangguran akan semakin meningkat.

Keterpurukan rakyat secara ekonomi juga diiringi dengan hilangnya hak rakyat untuk melawan sistem yang buruk. Sebagai manusia, rakyat memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri (Right to Self Determination), berhak bebas dari penghisapan dan penindasan sistem yang tidak adil, termasuk menentang dominasi imperialisme yang lapuk dan sistem setengah jajahan di Indonesia saat ini.

Joe Biden yang akan menggantikan presiden Donald Trump akan memimpin pemulihan krisis imperialis. Rakyat di seluruh dunia dipaksa menanggung beban krisis melalui pemaksaan utang dan investasi AS, serta intervensi politik dan militer. Namun, hal ini tidak lagi mudah. Imperialis AS semakin sulit mendamaikan kontradiksi yang menajam di dalam tubuhnya, begitupun dengan kekuatan baru yang tumbuh dan negeri-negeri lainnya yang menolak tunduk dibawah sistem kapitalisme. Tentangan atas agresi dan intervensi AS juga semakin menguat di berbagai belahan dunia. Perlawanan rakyat di dalam negeri AS dan seluruh dunia terus tumbuh, meluas, dan semakin memerosotkan imperialis AS ke dalam jurang kehancuran. Meski demikian, semua ini belum cukup untuk membebaskan rakyat dan mengembalikan hak-hak yang telah dirampas.

Imperialis AS bersama Institusi keuangannya, World Bank telah memastikan pemerintahan Boneka Jokowi-Ma’ruf untuk mengimplementasikan secara penuh program dan kebijakan baru neoliberal di Indonesia melalui UU No.11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (omnibus Law). Indonesia juga telah berkomitmen melayani program strategis AS dalam “Visi Bersama bagi Kebebasan dan Keterbukaan di Kawasan Indo-Pasifik (Shared Vision of a Free and Open Indo-Pacific Region”). Program yang melayani keleluasaan AS atas lalu lintas laut, zona terbang, kontrol perdagangan dan menekan pergerakan China dan kekuatan lainnya. Sedangkan untuk jaminan keberlanjutan ekspor komoditas bagi pasar AS, Indonesia telah mendapatkan perpanjangan Generalized System of Preferences (GSP) facility dari pemerintah AS. Fasilitas GSP akan semakin memperkuat politik upah murah dan beban kerja berlipat bagi klas buruh untuk melayani produksi komoditas ekspor barang murah.

Krisis dan pandemi Covid-19 justru dimanfaatkan untuk mengeruk keuntungan bagi korporasi imperialis dan tuan tanah besar. Masa pandemic kini memasuki babak baru setelah penerapan lockdown dan pengambilan utang besar-besaran. Indonesia dan berbagai negeri lainnya menjadi pasar untuk akumulasi keuntungan dari bisnis vaksin milik farmasi imperialis, khususnya AS. Vaksin Pfizer (AS), Astra Vineca (Inggris) dan Sinopex (China) siap dipasarkan dengan dalih pemulihan kesehatan dan pencegahan Covid-19 di Indonesia.

Pemerintah Indonesia tidak mau belajar dari kegagalan akibat ketergantungan pada imperialis. Indonesia kini menempati peringkat ke-7 dari 120 negara dengan utang luar negeri terbesar. Ekonomi Indonesia jatuh ke jurang resesi sejak kuartal-II tahun 2020 dan berlanjut pada kuartal- III dengan pertumbuhan negatif 3,49 %. Pandemic Covid-19 dimanfaatkan untuk menindas hak-hak rakyat dan membungkam gerakan rakyat yang menentang penghisapan dan penindasan. Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dikeluarkan tanggal 31 Maret 2020 tentang PSBB dan Pemulihan Ekonomi Nasional dan Penanganan COVID-19.

Kenyataannya, kehidupan rakyat justru semakin merosot. Rakyat semakin sulit memenuhi kebutuhan hidupnya karena pendapatan sangat rendah bahkan tidak ada. Di bawah pemerintahan Jokowi, tindasan dan perampasan hak-hak rakyat di masa pandemic terus meningkat. Periode pemerintahan Jokowi, berbagai kasus pelanggaran HAM terus meningkat dan ditangani secara diskriminatif dengan menggunakan kekuatan negara (alat kekerasan) secara berlebihan. Laporan World Report 2020 oleh Human Rights Watch menunjukkan kasus-kasus yang menjadi bukti berbagai bentuk pelanggaran terahdap hak sipil politik, yakni; kebebasan beragama, kebebasan berekspresi dan berorganisasi, kak perempuan dan perempuan anak, isu Papua, identitas gender dan orientasi seksual, hak disabilitas, hak lingkungan, dan hak masyarakat adat.

Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik pada 28 Oktober 2005 melalui UU No 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Terhadap Kovenan ini, Indonesia melakukan Deklarasi yang intinya pemerintah Indonesia tidak mengakui penegakan Hak Menentukan Nasib Sendiri sebagai sebuah negara yang berdaulat. Namun, semua kenyataan pahit dari penderitaan dan masalah rakyat di bawah sistem ini harus membuka kesadaran bahwa rakyat tidak boleh lupa dan kehilangan hak untuk membangun sistem yang tepat bagi kehidupan dan kemajuan. 

Perjuangan kita ingin menuntaskan kebingungan rakyat diantara sistem “setengah-setengah’ ini, dan berhak menentukan sistem mana yang akan dipakai. Kita tidak akan mungkin memilih kembali ke feodalisme dimana hanya raja yang memiliki tanah dan dengan demikian berkuasa atas tenaga kerja. Tidak mungkin juga kembali ke masa perbudakan dimana rakyat akan dirantai dan sepenuhnya dimiliki oleh tuan budak.

Kita sadar bahwa belum semua rakyat mengetahui hak-hak mereka. Di saat yang sama, tatanan dunia dibawah dominasi imperialism, tidak akan memberikan hak-hak tersebut dengan mudah tanpa perlawanan sengit dari rakyat dan berbagai bangsa. Di negeri yang menyatakan merdeka dan maju sekalipun, hak-hak rakyat tidak terpenuhi, apalagi di Indonesia sebagai negeri setengah jajahan setengah feudal.

Tetapi rakyat tidak tinggal diam. Dengan segala bentuk dan kemampuannya, aksi protes dan perlawanan terus tumbuh. Tuntutan untuk mengganti sistem terus meluas. Ketidakpercayaan terhadap rezim merupakan ekspresi utamanya. Meski dengan berbagai intimidasi, kriminalisasi dan kekerasan, rakyat di perkotaan dan pedesaan terus menunjukkan keberanian berlawan. Ekspresi ini harus disambut dengan pengorganisasian yang lebih kuat dan maju. Secara khusus, situasi di Indonesia membutuhkan bantuan dan dukungan secara internasional untuk memperbesar perjuangan rakyat dalam rangka menjalankan land reform sejati dan industri nasional untuk kemajuan hidup rakyat.

Dengan kenyataan ini, di Hari Hak Asasi Manusia Internasional,  Front Perjuangan Rakyat (FPR) menyatakan tuntutan kepada pemerintah Indonesia, yakni:

1.       Penuhi hak rakyat atas tanah, pekerjaan, dan kekayaan alam untuk memajukan kesejahteraan rakyat

2.       Hentikan segala bentuk tindasan terhadap hak rakyat atas kebebasan berpikir, berpendapat, berorganisasi, hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Indonesia.

3.       Bagi Hasil yang adil bagi para penggarap di perkebunan besar kayu, sawit, karet, gula, komoditas ekspor lainnya milik Imperialis dan Tuan Tanah Besar tingkat nasional.

4.       Berikan Upah Buruh Tani yang lebih baik di perkebunan besar milik Imperialis dan Tuan Tanah besar tingkat nasional.

5.       Hapuskan Peribaan di Pedesaan.

6.       Perbaiki harga komoditas dan harga keperluan hidup kaum tani.

7.       Sediakan Input Pertanian, peternakan dan perikanan dari industri nasional sendiri, bukan produksi paten di bawah lisensi dan tidak berbahan baku impor serta tidak bersumber pada pendanaan hutang dan investasi asing.

8.       Sediakan Alat-Alat Pertanian Modern yang mudah di akses oleh kaum tani.

9.       Sediakan Sistem Pendidikan dan Kesehatan yang lebih baik di Pedesaan. Sediakan Rumah sakit bersalin dan pusat perawatan anak-anak yang maju, murah dan mudah di jangkau di seluruh pedesaan Indonesia.

10.   Hapus semua pajak atas seluruh komoditas kaum tani

11.   Berikan kompensasi kepada kaum tani yang terdampak Covid 19 11.Hentikan pengakuan nominal atas tanah-tanah ulayat di pedalaman Indonesia yang bertujuan untuk pembatasan kekuasaan Suku Bangsa Minoritas dan mempermudah perampasan tanah untuk perkebunan besar, HPH, pertambangan dan infrastruktur.




About ""

SERUNI atau Serikat Perempuan Indonesia adalah organisasi perempuan yang memiliki cita-cita kesetaraan gender dan kehidupan lebih baik bagi perempuan Indonesia.

Posting Komentar

 
Copyright © 2013 SERUNI
Design by FBTemplates | BTT