20 Agustus 2021
Disampaikan dalam Rural women's workshop on just, healthy, equitable and sustainable food systems.
Sistem pangan yang berlaku saat ini bertentangan sepenuhnya dengan Deklarasi PBB Tentang Hak Kaum Tani dan Pekerja Lainnya Di Pedesaan yang diadaptasi oleh Sidang Umum PBB tahun 2018. Kebijakan dan regulasi produksi pangan, perdagangan dan industrinya di dunia dan di mayoritas regional dan negeri tidak mengakui, tidak mengadaptasi dan menjalankan deklarasi ini.
Produksi massal berbagai jenis pangan di pedesaan dan industrinya tidak dalam rangka memenuhi keperluan hidup seluruh bangsa dan rakyat di dunia, meningkatkan penghidupan kaum tani penggarapnya, serta kemajuan pedesaan tempat produksi itu dilakukan. Produksi bahan pangan dan industri olahannya terus berkembang sebagai instrumen pembiakan-kapital dan pengumpul kekayaan di bawah kekuasaan kapital segelintir kekuatan kapitalis monopoli internasional yang berkuasa atas para kapitalis industri besar pangan di negeri kapitalis dan para tuan tanah besar di negeri agraris-pra industrial.
Kejahatan dan ketidak-mampuan sistem pangan kaum imperialis yang berkuasa menjamin keperluan rakyat atas pangan yang adil, cukup, dan sehat terlihat lebih jelas dan tidak bisa ditutupi lagi selama era Pandemi Covid-19 berlangsung sejak Maret 2020. Produksi dan perdagangan pangan telah menjadi mesin pencipta kemiskinan, kelaparan bahkan pengangguran di pedesaan. Kaum tani dan buruh tani di pedesaan, yang mencurahkan tenaganya menghasilkan berbagai jenis bahan pangan, justru menjadi korban ketidak-adilan pangan, menderita kelaparan, kehilangan kemampuan berproduksi secara independen, mengalami pengusiran dari tanah garapannya akibat dari perampasan produk hasil kerja yang semakin intensif oleh para tuan tanah.
Lebih daripada itu, sistem pangan yang berlaku adalah instrumen perampas kebebasan dan melenyapkan kesempatan kaum tani, buruh tani dan keluarganya di pedesaan untuk meraih kemajuan. Produksi dan perdagangan serta industri pangan yang berlaku telah terbukti menciptakan kehancuran lingkungan hidup secara sistematis. Menghancurkan hutan tropis alamiah yang ada di seluruh dunia, mengeringkan mata air, mengancam keberagaman hewan dan tumbuhan, pada akhirnya merusak kesuburan tanah secara besar-besaran hingga tidak bisa lagi dipergunakan untuk budidaya.
Perempuan pedesaan menghadapi penindasan berlipat-ganda. Selain menghadapi penindasan dan penghisapan umumnya seluruh kaum tani dan buruh tani di pedesaan, dia juga menghadapi berbagai macam diskriminasi akibat dari kekuasaan patriarki kaum laki-laki yang dilestarikan oleh klas-klas yang berkuasa. Kaum perempuan pedesaan menempati kasta terendah dalam hak ekonomi, politik dan kebudayaannya. Kaum perempuan pedesaan kehilangan independensinya sebagai sebagai tenaga produktif. Kaum perempuan tidak diakui sebagai pekerja penting dalam produksi pangan di pedesaan, tidak berhak atas tanah garapan, tidak memperoleh dukungan keuangan untuk produksi untuk input pertanian, dan menghadapi berbagai diskriminasi dan tindasan karena eksistensi kekuasaan patriarkal kaum laki-laki.
Di seluruh Asia, negara dan pemerintah yang berkuasa membuat kebijakan dan regulasi yang meletakkan sistem pangan di bawah kekuasaan para tuan tanah besar di pedesaan. Berbagai budidaya bahan mentah pertanian, perikanan, peternakan, kehutanan dan industri olahannya dilakukan dalam rangka ekspor, sementara keperluan dalam negeri sebagian besar dipenuhi oleh produk industrial pangan dari negeri imperialis. Indonesia dengan daratan suburnya yang sangat luas mengkonsumsi beras dengan harga yang sangat mahal dan berstatus net importer. Demikian pula dengan para negeri produser beras utama seperti India, Thailand dan Vietnam. Melalui Omnibus Cipta Kerja tahun 2020, Pemerintah Indonesia mensejajarkan antara produksi pangan dalam negeri dengan pangan impor sebagai dua sumber sama pentingnya bagi stok pangan nasional atas desakan imperialis menghilangkan “Barier Non-Tariff” dalam perdagangan pangan. Seluruh kebijakan nasional dan regulasi baru, termasuk dalam penanganan Pandemi Covid-19 ini, kebijakan pangan merujuk pada Liberalisasi Perdagangan. Ilusi imperialis bahwa perdagangan pangan yang lebih terbuka dapat menciptakan stok pangan nasional yang stabil diadaptasi oleh Indonesia dan seluruh negeri Asia tanpa pengecualian. Karena itu, seluruh kerja budidaya pertanian, perikanan, peternakan, kehutanan terutama oleh Suku Bangsa Minoritas beserta industri olahannya harus berada di bawah arahan Perdagangan Pangan Terbuka, tanpa hambatan tariff dan non tariff.
Dalam kebijakan dan regulasi perdagangan bebas-terbuka tanpa hambatan tarif dan non tarif semacam itu, maka kedaulatan pangan, cepat atau lambat, akan terampas sepenuhnya. Kaum tani, para buruh tani termasuk di dalamnya kaum perempuan pedesaan akan meninggalkan produksi pangan dan tanah garapannya. Karena mereka akan kehilangan daya untuk berproduksi secara total, bukan saja produksi pangan untuk diperdagangkan, tetapi juga produksi pangan untuk keperluan subsistensi.
Mayoritas negeri di dunia dan Asia yang masih berkarakter agraris pra-industrial hanya mampu memproduksi bahan mentah pangan secara terbatas mengandalkan tenaga kerja pedesaan yang tidak terampil, teknologi, pengetahuan, mesin dan peralatan pertanian sederhana. Karena itu pelipat-gandaan produksi hanya dimungkinkan dengan perluasan lahan pertanian yang berarti melipat-gandakan beban kerja keluarga kaum tani, termasuk kaum tani perempuan di pedesaan beserta anak-anaknya. Dengan sistem pangan yang ada sekarang, kaum perempuan pedesaan hanya mengkonsumsi produk sisa dari produk lebih yang diambil oleh para tuan tanah melalui sewa tanah dan peribaan serta upah buruh tani yang ekstrem rendahnya. Ia dipaksa untuk membatasi jumlah dan kualitas konsumsi bagi dirinya, anak-anaknya dan keluarganya. Proporsi hasil kerja, upah dan pendapatan dirinya dan keluarga, alokasi terbesarnya tetap untuk memenuhi kecukupan makanan pokok. Alokasi upah dan pendapatan untuk keperluan pendidikan dan kesehatan anak-anak semakin tidak terjangkau.
Jutaan kaum tani, buruh tani, perempuan pedesaan meninggalkan lapangan kerja pertanian bahkan desanya karena kebijakan pangan dan regulasinya yang menindas dan menghisap di seluruh Asia. Mereka pindah dan menjalankan pekerjaan informal di perkotaan atau meninggalkan negerinya menjadi buruh migran di berbagai negeri yang kekurangan tenaga produktif. Di era Pandemi Covid-19 fenomena ini tetap berlangsung, peningkatan jumlah migrasi di Asia tetap melambung tinggi karena kehilangan harapan bertahan hidup dari produksi pangan terbelakang di pedesaan.
Negara dan pemerintah berbagai negeri di Asia menyadari hal ini. Akan tetapi mereka justru mempromosikan penanaman komoditas non pangan lebih luas, atau mengembangkan produksi pangan ber-orientasi ekspor berkedok ketahanan pangan sembari menghapus seluruh hambatan bagi pangan impor membanjiri pasar dalam negeri seluruh negeri di Asia.
Pada saat Pandemi Covid-19 ini berlangsung, negara dan pemerintah yang berkuasa di Asia harusnya dapat mengandalkan daerah pedesaan sebagai benteng pertahanan, wilayah imun yang sesungguhnya karena populasi yang tidak padat, lingkungan yang lebih baik dibandingkan dengan daerah urban pusat industrial dan lebih penting dari itu dapat memobilisasi tenaga kerja terutama kaum perempuan pedesaan untuk produksi pangan massal secara kolektif. Akan tetapi mereka tidak melakukan itu. Mereka memilih menggunakan miliaran dolar utang luar negeri untuk membangun instalasi isolasi di perkotaan agar dananya bisa dikorup.
Dalam situasi seperti sekarang gerakan tani sejati yang mempromosikan land reform sejati di seluruh Asia dengan kekuatannya terus berjuang menentang kebijakan neo-liberal berkelanjutan yang didesakkan untuk menyelamatkan sistem kapitalisme monopoli internasional. Di India, kaum tani dan suku bangsa minoritas tidak henti-hentinya bertarung untuk memperoleh hak atas tanah dan mempertahankan tanahnya dari ancaman perampasan tanah oleh korporasi besar yang didukung oleh kebijakan neo-liberal Perdana Menteri Modhi. Di Philipina gerakan tani dan pejuang land reform sejati membantu suku bangsa minoritas Lumad dan suku lainnya di Luzon untuk mengintensifkan produksi pangan di pedesaan, melawan isolasi pangan oleh pemerintah Philipina. Di Afrika gerakan menentang revolusi hijau yang sedang gencar-gencarnya termasuk yang disponsori oleh Melinda&Gates Foundations.
Di Indonesia organisasi dan gerakan kaum perempuan pedesaan bersisian dengan organisasi tani tidak lelah-lelahnya mempromosikan mobilisasi tenaga kerja di pedesaan, kerja saling menolong dalam penanaman-panen dan pemenuhan kebutuhan pokok lainnya yang lebih murah oleh kaum tani khususnya kaum tani perempuan. Beras, minyak goreng, gula diusahakan bersama agar dapat dijangkau dengan harga murah oleh kaum tani yang betul-betul bergantung hidup pada komoditas non pangan seperti kopi dan kelapa sawit.
Bagaimana pun fokus perhatian terpenting saat ini adalah menghambat dan bila terbuka kesempatan mengalahkan sistem pangan yang disponsori oleh imperialis dengan kebijakan neo-liberal, menentang penghilangan seluruh tarif dan hambatan non-tarif yang berkedok perdagangan pangan terbuka demi menjamin stok pangan yang lebih stabil atau keamanan pangan. Kebijakan neo-liberal dalam sistem pangan akan menghancurkan harapan kedaulatan pangan setiap negeri di Asia dan menghancurkan daya terakhir kaum tani, termasuk kaum perempuan pedesaan untuk memproduksi pangan independen bahkan untuk keperluan subsistensinya. Seruan produksi bersama di pedesaan oleh kaum tani dan buruh tani yang di dalamnya mengandalkan para perempuan pedesaan akan memiliki arti penting, terutama di era Pandemi Covid-19, sejauh terhubung erat dan sebagai bagian tidak terpisahkan dari gerakan land reform sejati untuk membebaskan kaum tani, buruh tani dari belenggu tuan tanah besar kaki tangan imperialis di seluruh Asia khususnya dan dunia secara keseluruhan. Seruan produksi bersama dan sistem pertukaran yang lebih adil harus dijalankan dalam rangka menentang BANTUAN SOSIAL PANGAN yang sangat terbatas, tidak adil dan diskriminatif serta memecah belah di pedesaan. Bagaimana pun bantuan sosial pangan hanyalah instrumen bagi imperialis dan kaki tangannya untuk menghilangkan subsidi pertanian secara menyeluruh dan memelihara harga pangan tinggi. Instrumen kebijakan pemberian bantuan sosial - pangan sengaja dipilih daripada pemberian subsidi harga pangan atau menurunkan harga pangan yang bisa dijangkau oleh rerata rakyat. Subsidi dianggap sebagai distorsi dalam perdagangan.
Adalah ironi di tengah dorongan kebijakan neo-liberal yang sangat kuat di bawah slogan pangan terbuka, di berbagai negeri Asia khususnya Asia Barat-Timur Tengah yang menjadi area perang agresi dan perang intervensi serta perang proksinya Amerika Serikat dan sekutu, kerusakan produksi pangan di satu sisi dan hambatan perdagangan pangan dengan alasan politik atau embargo untuk menggulingkan kekuasaan yang anti Amerika Serikat tetap berlangsung. Serupa dengan politik Amerika Serikat atas Venezuela atau pelarangan eropa membeli komoditas pangan dari Rusia dan China.
Sekali lagi dengan dorongan kebijakan perdagangan pangan terbuka– kebijakan swasembada pangan adalah ilusi. Produksi pangan di negeri dengan tenaga kerja tidak terampil dan berpengetahuan rendah, mesin-alat serta teknologi pertanian yang rendah, industri pangan yang tidak berkembang dan hanya memiliki kecenderungan menjual pangan dalam bentuk “bijian mentah” AKAN JAUH LEBIH MAHAL BILA DIPERDAGANGKAN dibandingkan dengan produksi pangan di negeri industri kapitalis.
Posting Komentar