BREAKING

Rabu, 30 November 2022

"Rekam Jejak IMF dan Bank Dunia dalam Penanggulangan Krisis Ekonomi Melalui Intensifikasi Perampasan Hak dan Masa Depan Rakyat"

Disampaikan dalam webinar FMN Universitas Hasanudin, Makasar

Rabu, 20 Oktober 2021

Bank Dunia dan IMF didirikan di Bretton Woods oleh imperialis pimpinan Amerika Serikat setelah memastikan dirinya menjadi pemenang dalam Perang Dunia II. Karena itu Bank Dunia dan IMF disebut juga sebagai Sistem Bretton Woods. Secara formal kedua lembaga tersebut adalah lembaga keuangan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa, dengan hak suara sendiri mendekati 17% sementara negeri lainnya berbagi hak suara sangat kecil, Amerika Serikat memiliki hak prerogatif sekaligus veto atas seluruh kebijakan dan peraturan Bank Dunia dan IMF yang berlaku secara internasional.
Pada awal pendiriannya Bank Dunia fokus pada pengumpulan dana untuk mendanai pembangunan kembali negeri-negeri Eropa Barat dan Skandinavia serta Jepang karena Perang Dunia ke-2. Setelah itu Bank Dunia menjadi badan internasional yang membiayai berbagai proyek pembangunan di negeri non industrial Asia, Afrika dan Amerika Latin, membiayai pembuatan kebijakan, regulasi dan bantuan teknis untuk memperluas dan mempercepat pemberlakuan sistem yang terbuka bagi kapital utang dan kapital investasi di seluruh negeri.
Dalam banyak kejadian, Bank Dunia membiayai berbagai operasi militer seperti pemberian pinjaman pada Belanda untuk menjalankan Agresi Militer di Indonesia pada tahun 1947. Dua tahun kemudian Belanda menggunakan uang tersebut untuk mengirim tambahan 200 ribu tentara untuk memerangi rakyat Indonesia untuk mempertahankan koloninya. Hal yang sama berulang pada saat “uang Bank Dunia” digunakan oleh pemerintah Indonesia untuk invasi Timor-Timur dan menjadikan provinsi ke-27-nya pada tahun 1976 yang sekarang menjadi Negara Timor Leste. Hal yang sama tidak hanya terjadi sekali dua kali atau terjadi di Indonesia saja tetapi di hampir seluruh dunia.
IMF menjadikan dirinya sebagai otoritas pengatur standar nilai tukar mata uang. Menjadi mata uang negeri industrial kapitalis Dollar Amerika Serikat, Pounsterling Inggris, Euro Uni Eropa, Yen Jepang dan sekarang ditambah China sebagai mata uang dalam transaksi internasional yang disebutnya sebagai Special Drawing Right (SDR). Dari seluruh mata uang tersebut IMF menjadikan Dollar Amerika Serikat sebagai mata uang yang paling dominan dalam seluruh transaksi internasional apapun. Dalam kenyataannya, IMF telah terbiasa beroperasi dengan menciptakan krisis keuangan, menjadikan dirinya sebagai “konsultan krisis” keuangan, memaksa satu negeri untuk menerima asistensi IMF dan tentu saja utang baru dalam rangka penanganan krisis keuangan. Di Indonesia, pada saat Krisis Moneter 1998, IMF memaksa pemerintah Suharto menandatangani Letter of Intent (LoI) agar melakukan perubahan ekonomi dan keuangan struktural ala IMF untuk membuka jalan bagi privatisasi, penghapusan bea dan tarif ekspor-impor dan berbagai kebijakan neo-liberal yang dibutuhkan imperialis. Termasuk memaksa agar seluruh utang swasta diubah menjadi utang pemerintah sehingga terbentuk Badan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI).
Bank Dunia Dan IMF Di Indonesia
Bank Dunia dan IMF memiliki sejarah kelam dari tahun 1947 hingga saat ini. Tidak terhitung banyaknya proyek yang dibiayai Bank Dunia dan IMF yang langsung maupun tidak langsung merampas kebebasan rakyat, merampas harta benda hingga nyawa rakyat Indonesia. Tidak hanya itu, Bank Dunia dan IMF dengan kemampuan memaksa dan kapitalnya dapat mendiktekan dengan mudah berbagai kebijakan dan peraturan perundangan baru yang merampas kedaulatan Indonesia sebagai bangsa.
Sebagaimana dikemukakan di atas, Bank Dunia telah membiayai Belanda dengan utang sangat besar untuk berperang dan mempertahankan Indonesia sebagai koloninya di tahun 1947. Selama pemerintahan Sukarno, IMF telah memberikan sejumlah pinjaman sebelum Presiden Sukarno menyatakan diri keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, IMF dan Bank Dunia karena politik Ganyang Malaysia dan Pembebasan Irian Barat.
Setelah Suharto sukses menggulingkan Sukarno dengan bantuan Amerika Serikat dengan membunuh jutaan rakyat, Indonesia kembali bergabung dengan Bank Dunia pada Bulan April 1966 dan bergabung kembali dengan IMF pada Bulan Februari 1967. Bahkan tujuh hari setelah Suharto menjadi Presiden Indonesia, Bank Dunia dan IMF memberikan utang pertamanya pada Indonesia. Sejak tahun 1967 Bank Dunia dan IMF memberikan utang untuk mengubah seluruh kebijakan dan peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia agar terbuka untuk utang dan investasi asing. Undang-Undang Investasi, Undang-Undang Kehutanan, Undang-Undang Pertambangan, Undang-Undang Transmigrasi, Undang-Undang Pertanian dan Perkebunan serta sejumlah undang-undang yang membekukan berbagai kebijakan dan uang-undang di era Sukarno seperti berbagai peraturan landreform dan perburuhan.
Mega proyek pertama Bank Dunia di Indonesia adalah Irigation and Rehabilitation Project tahun 1968. Proyek tersebut ditanda-tangani setelah McNamara terpilih sebagai Presiden Bank Dunia dan menjadikan Indonesia sebagai negeri pertama yang dikunjunginya.
Sesuai dengan proposal Pemerintah Indonesia pada tahun 1968, pada tahun 1970 Bank Dunia menjalankan proyek prestisius, mengubah Bali yang agraris menjadi obyek wisata internasional dengan utang yang fantastis. Bank Dunia membiayai 16 juta dollar Amerika Serikat dari total pembiayaan proyek 36,1 juta dollar Amerika Serikat hingga selesai tahun 1982. Tanah-tanah kaum tani dan pesisiran Pantai tempat nelayan tradisional diambil alih. Penentangan rakyat tidak didengar dan tidak diperdulikan. Di setiap puncak krisis imperialisme dan memburuknya krisis kronis di Indonesia, di setiap bencana alam dan ada wabah penyakit menular, pada saat itu turis asing tidak berkunjung ke Bali. Jutaan rakyat Bali dan pekerja wisata mengalami penderitaan yang luar biasa beratnya. Tanpa rasa bersalah dan tidak belajar apapun dari situasi wisata Bali, di era Pemerintah Presiden Jokowi Bank Dunia kembali membiayai pembangunan area wisata internasional yang sama di Labuan Bajo, Lombok, Tanah Toraja dan Danau Toba.
Bank Dunia bersama pemerintah Suharto selama periode 1994 hingga 2020 menjalankan Proyek Administrasi Tanah (Land Administration Project-LAP) di Indonesia dengan target seluruh tanah di Indonesia sudah terdaftar dan teradministrasi pada tahun 2020. LAP I periode 1994-2000 menelan biaya 86 juta dollar Amerika Serikat utang Bank Dunia dan sekarang dilanjutkan dengan LAP II. Proyek ini sama tujuannya dengan proyek pembangunan kebun besar dan infrastruktur di Indonesia setelah Pemerintah Kolonial Belanda menerbitkan Agrarische wet 1870. Berkedok memastikan kepemilikan tanah bagi rakyat, tetapi tujuan sebenarnya adalah untuk memastikan tanah sebagai tempat kapital utang dan investasi imperialis berkembang-biak di pedesaan. Saat ini diintegrasikan dengan Program Tanah Obyek Reforma Agraria Presiden Joko Widodo yang juga dibiayai Bank Dunia. Tanah kaum tani di pedesaan, tanah yang telah digarap oleh kaum tani dan suku bangsa minoritas secara turun-temurun melalui LAP semakin mudah jatuh ke tangan tuan tanah besar.
Proyek Bank Dunia yang tidak bisa dilupakan adalah Proyek Transmigrasi. Yaitu Pemindahan penduduk besar-besaran dari Jawa, Bali dan Lombok ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Pada awalnya proyek ini dijalankan Suharto sebagai program anti-komunis dengan memindahkan dan memencarkan anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia dari Jawa untuk mencegah perjuangan klas berikutnya. Mereka diambil di rumahnya pada malam hari dinaiki truk, syarat transmigran adalah menikah, sehingga mereka yang masih lajang dijodohkan paksa begitu saja di tempat penampungan sebelum diberangkatkan. Di Sumatera mereka di tempatkan di area hutan yang baru saja dibuka dan menjadi tenaga pembukaan hutan, kerja balok, selanjutnya mengubah areal tersebut menjadi perkebunan besar karet dan sawit. Rumah dan tanah garapan diberikan setelah semuanya selesai. Bank Dunia tidak saja bertanggung jawab atas pemisahan besar-besaran rakyat dari keluarganya di Jawa, akan tetapi terampasnya berbagai kebebasan, penderitaan luar biasa di tempat yang baru dan menjadi tenaga kerja sangat murah untuk pembangunan perkebunan negara dan swasta milik tuan tanah besar. Proyek ini dikenal dengan nama Perkebunan Inti Rakyat - Transmigrasi (PIR-Trans). Proyek Transmigrasi berikutnya menjadikan para banndit dan bromocorah yang sudah ditangani, korban perampasan tanah untuk pembangunan bendungan besar dan instalasi listrik tegangan tinggi. Tanah-tanah para transmigran saat ini sebagian besar sudah jatuh ke tangan para tuan tanah besar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Beberapa di antara para transmigran secara turun-temurun berpindah dari satu tempat lainnya hingga daerah pegunungan untuk mencari tanah baru bercocok tanam, menjadi pemukim dan penggarap di hutan.
Perubahan pertanian Indonesia berkedok swasembada pangan dengan mempromosikan pertanian intensif melalui Revolusi Hijau menelan banyak korban hingga saat ini. Di bawah bimbingan ahli Ladensky, konsultan anti landreform sejati dari Amerika Serikat, pemerintah Suharto merancang proyek Inmas-Bimas sebagai bagian dari Revolusi Hijau pada tahun 1968-1969. Pada tahun 1994, Suharto memperoleh penghargaan Swasembada pangan dari PBB. Dalam kenyataannya Indonesia setiap tahunnya melakukan impor beras, jagung, kedelai, dan tepung terigu. Pertanian tradisional, bibit pangan dan ikan air tawar lokal mengalami pemusnahan. Pegetahuan dan teknologi pertanian khas Indonesia mengalami stagnasi dan kehilangan kesempatan untuk berkembang maju karena Revolusi Hijau. Ladang-ladang dan sawah padi menjadi tanaman komoditas non pangan secara besar-besaran. Di Sulawesi tengah sawah-sawah produktif karena mahalnya biaya produksi dibandingkan hasilnya, kaum tani termasuk para transmigran mengubahnya menjadi kebun kakao atas dorongan pemerintah.
Kejahatan Suharto, Bank Dunia dan IMF baru terlihat jelas bagi rakyat Indonesia pada tahun 1997, pada saat krisis moneter dengan mudah menghancurkan pertumbuhan ilusif yang telah menipu rakyat bertahun-tahun. Tetapi IMF dan Bank Dunia sangat licik. Dia sukses memindahkan seluruh kesalahan ke pundah Suharto dan Orde Baru, membebaskan dirinya sendiri dengan menjadi bagian dari mereka yang menuntut reformasi. IMF memaksa Suharto menandatangani Letter of Intent (LoI) sebagai syarat utang baru untuk mengatasi krisis moneter. Indonesia diminta mengubah utang swasta bank dan perusahaan Indonesia menjadi utang negara melalui BLBI. Hingga saat ini utang-utang bank dan perusahaan swasta dibayar oleh rakyat Indonesia dalam jumlah sangat besar setiap tahunnya.
Menggunakan situasi krisis Bank Dunia melalui proyek raksasa pada tahun 1998, Jaring Pengaman Sosial (JPS), yang menjadi cikal bakal Bantuan Tunai berkelanjutan untuk mencegah pemberontakan rakyat. Berturut-turut setelah itu Bank Dunia membiayai Proyek Pengembangan Kecamatan yang berkembang menjadi Proyek Nasional Pemberdayaan Masyarakat yang meliputi 70.000 desa, membangun 31.000 jalan, 8000 jembatan, 9000 unit pasokan air minum, 9000 sistem irigasi, 3000 pos kesehatan baru dan 5000 sekolah baru. Semuanya dari utang luar negeri yang sangat besar.
Sejak tahun 1998-2003 utang Bank Dunia mencapai 4,5 milyar dollar Amerika Serikat. Setelah berakhirnya Program Penyesuaian Struktural Bank Dunia di Indonesia, Indonesia tetap didikte dengan berbagai jenis utang dan asistensi untuk mereformasi diri agar bisa menjadi sasaran ekspor kapital utang dan investasi imperialis sebsar-besarnya. Dari tahun 2009 hingga tahun 2017 Bank Dunia memberikan utang 20 miliar dollar Amerika Serikat yang bertujuan untuk mengubah kebijakan dan regulasi untuk menciptakan iklim investasi di Indonesia dengan mengurangi pajak bagi pengusaha dalam waktu bersamaan memperluas wajib pajak hingga menjanggkau buruh dan kaum tani, mempermudah izin berusaha bagi imperialis dan kaki tangannya hingga tidak ada hambatan sama sekali, perubahan administrasi tanah, pembiayaan infrastruktur komersial dan lain sebagainya. Effeknya pada tahun 2000 Indonesia kehilangan investasi asing mencapai 4,5 miliar dollar Amerika Serikat, pada tahun 2017 saja investasi asing sudah mencapai 22 miliar dollar Amerika Serikat. Tidak tercatat investasi dalam rangka pembangunan Ibukota baru dan proyek digital yang sangat ilusif, mobil listrik yang sangat bombastis serta berbagai proyek food estate yang terus dijalankan meskipun tanpa hasil.
Bank Dunia dan IMF memuji Presiden Joko widodo dan perubahan yang dibuatnya setinggi langit. Dalam setiap laporan “Doing Bussiness” peringkat Indonesia terus diperbaiki dan Indonesia secara berkelanjutan terus disanjung sebagai negara demokrasi baru yang bakal menjadi negeri industri baru. Dengan catatan menurut Bank Dunia Indonensia harus bisa menghindari “Jerat Negeri Berpendapatan Menengah”.
Tetapi kita menjadi saksi kenyataan yang sebenarnya. Di sepanjang pesisiran dan pegunungan Sulawesi Selatan, proyek Bank Dunia tidak menciptakan kemajuan apapun selain perampasan tanah, pengangguran, kemiskinan dan akhirnya perjuangan klas yang tajam dan tidak terdamaikan.
Bagi Kita, rakyat Indonesia, jerat sesungguhnya yang tidak saja harus dihindari tetapi harus dihancurkan agar Indonesia bisa bebas dari sistem setengah kolonial dan setengah feodal adalah Bank dunia dan IMF itu sendiri. Hanya kaum tani dan klas buruh, hanya persatuan rakyat tertindas dan terhisap Indonesia yang bisa membawa Indonesia menjadi negeri industrialis yang maju, bukan pemerintah boneka Presiden Jokowi atau pemerintah boneka yang akan datang.

About ""

SERUNI atau Serikat Perempuan Indonesia adalah organisasi perempuan yang memiliki cita-cita kesetaraan gender dan kehidupan lebih baik bagi perempuan Indonesia.

Posting Komentar

 
Copyright © 2013 SERUNI
Design by FBTemplates | BTT