BREAKING

Selasa, 07 Juli 2015

BATALKAN PENGGENANGAN WADUK JATIGEDE dan HENTIKAN TRAGEDI KEMANUSIAAN DI JATIGEDE

Press Release
Embargo : Rabu, 1 Juli 2015, Hingga Pukul 10.00 WIB

Pemerintah sejak tanggal 26 Juni 2015 kemarin melakukan proses administrasi dan verifikasi bagi orang terkena dampak (OTD) pembangunan Waduk Jatigede. Presiden Joko Widodo menganggap semua persoalan dan dampak sosial bagi OTD sudah terselesaikan. Padahal kenyataan di lapangan berbicara lain.

Berdasarkan temuan di lapangan, masih banyak masalah yang menaungi sedikitnya 11 ribu kepala keluarga di wilayah pembangunan dan penggenangan waduk. Sebagai warga negara Indonesia, mereka memiliki hak yang sama seperti warga negara lainnya untuk mendapatkan kepastian dan perlindungan akan hak ekonomi dan sosial. Ketidakjelasan sikap pemerintah terkait hak-hak OTD bakal menimbulkan permasalahan sosial yang lebih kompleks. Karena itu, pemerintah harus membatalkan penggenangan waduk Jatigede pada tanggal 1 Agustus 2015 mendatang.

Tim Advokasi Aliansi Rakyat Jatigede mengumpulkan data di lapangan sebelum dan sesudah pelaksanaan pemberian dana ganti rugi dan uang santunan kepada OTD. Pengumpulan data dengan metode wawancara OTD ini difokuskan pada delapan desa di lima kecamatan yang menjadi daerah genangan. Adapun delapan desa yang akan tergenangi  itu adalah, Cipaku, Pakualam, Sukakersa, Cibogo, Leuwihideung, Jatibungur, Sukamenak, dan Padajaya.
 Tim berkesimpulan, pemerintah tidak becus dalam mengurus warganya.

Temuan fakta dan data di lapangan menggambarkan sebagian besar OTD belum memiliki rencana untuk kehidupan mereka paska meninggalkan tempat tinggalnya. Ade Kusmana, 62 tahun, warga Desa Sukakersa, Kecamatan Jatigede, Sumedang sama sekali belum mendapatkan gambaran akan masa depannya.

Petani ini menjelaskan sudah ada rencana untuk pindah bersama-sama tetangganya ke lahan kas desa yang mereka sebut sebagai tanah pengangonan desa. Tapi sampai kini, Ade dan warga lainnya belum mendapatkan kepastian akan kondisi dan kematangan tanah yang direncanakan jadi tujuan relokasi. Hal serupa juga disampaikan oleh Wawang, 46 tahun, seorang ibu rumah tangga dari Desa Padajaya, Kecamatan Wado, Sumedang.

Perempuan yang berprofesi sebagai buruh tani ini mengaku resah karena tanah kas desa yang direncanakan menjadi tujuan relokasi masih belum jelas statusnya. Hamparan lahan yang sama diklaim sebagai milik masyarakat Desa Pawenang.

Kondisi ini memengaruhi mata pencaharian mereka di masa depan. Meski sehari-hari menjadi buruh tani, keduanya mengaku masih bisa tetap hidup tanpa kekurangan di desa asalnya. “Sedih, belum tentu ke depan, di sini enak, ga punya sawah, masih bisa kerja-kerja sama orang yang punya sawah, kalau nanti mah ga tau gimana,” tutur Wawang sembari berharap pemerintah bakal memberikan solusi terkait keluhannya.

Beberapa warga di Desa Cipaku mengakui kalau pemerintah desanya sudah mengurus lahan relokasi di daerah Congeang dan Sakurjaya. Dua lokasi tersebut merupakan daerah tujuan yang mereka upayakan melalui perundingan dengan Pemerintah Kabupaten Sumedang. Congeang dan Sakurjaya dipilih karena relatif  dekat dari desa tempat tinggal mereka saat ini. Dengan begitu, menurut mereka, setidaknya tidak terlalu jauh jika nanti harus pindah.

Meski lokasinya relatif dekat, namun kondisi geografisnya sangat berbeda dengan daerah asal. Daerah tujuan warga berbukit-bukit sehingga menyulitkan warga yang mau merintis lahan garapan untuk sawah. Sejak dulu warga Desa Cipaku menanam padi di hamparan datar yang luas dengan sistem pengairan yang sudah tertata. Setiap tahun, mereka bisa panen dua kali dengan rata-rata produksi sedikitnya 5 ton per hektare. 

Jika pindah nanti tentunya sistem pengairan dan sumber air  mutlak diperlukan. Hal tersebut menjadi salah satu kekhawatiran warga Desa Cipaku. Temuan ini sekaligus memperjelas sikap pemerintah yang tidak memikirkan secara matang  mata pencaharian dan sumber kehidupan warga.

Masalah lainnya adalah penyelesaikan keluhan (complain) masyarakat yang belum tuntas sejak kawasan genangan itu dibebaskan mulai tahun 1982 silam. Satuan Administrasi Manunggal Satu Atap (SAMSAT) Waduk Jatigede Provinsi Jawa Barat menyatakan ada 12.423 keluhan OTD yang diterima oleh Tim Verifikasi Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan Provinsi Jawa Barat saat audiensi dengan Komisi D Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Barat tanggal 27 Mei 2013 lalu. Namun data ini berubah menjadi 12.119 keluhan pada tanggal 30 Januari 2015.

Kategori komplain: 
1.      Penyesuaian harga lahan dan bangunan yang dibebaskan tahun 1982 – 1986, timbulnya tuntutan ini berdasarkan pengakuan dari masyarakat karena terlalu rendahnya harga dan adanya pemaksaan serta intimidasi dalam pembebasan lahan dan bangunan. (407 komplain)

2.      Salah orang/penerima dalam pembayaran/ganti rugi, terdapat masyarakat (pemilik lahan) yang merasa belum menerima uang pembebasan/ganti rugi dikarenakan penerima uang pembebasan/ganti rugi bukan pemilik lahan. (7 komplain)

3.      Salah ukur dalam pembebasan/ganti rugi lahan, lahan dan bangunan yang dibebaskan/mendapat ganti rugi tahun 1982 – 1986 banyak yang ukurannya tidak sesuai, dikarenakan masyarakat tidak pernah diikutsertakan waktu diadakan pengukuran lahan oleh petugas. (5.687 komplain)

4.      Salah klasifikasi dalam pembebasan/ ganti rugi lahan, lahan sawah oleh petugas dibayar sama dengan harga darat, padahal harga sawah lebih tinggi/mahal daripada harga lahan darat. (2.024 komplain)

5.      Lahan dan bangunan milik masyarakat yang terlewat dan belum mendapat ganti rugi, berdasarkan pengakuan masyarakat belum ada yang dibebaskan/mendapat ganti rugi. (3.646 komplain)

6.      Lahan terisolir, terdapatnya lahan milik masyarakat yang akan terisolir apabila waduk jatigede sudah digenangi. (348 komplain)

Dari belasan ribu keluhan itu, tim mendapatkan data himpunan pembebasan tanah pembangunan Waduk Jatigede Desa Jatibungur Kecamatan Darmaraja Kabupaten Sumedang Tahun 2010. Dalam data itu ada 726 keluhan masyarakat yang sampai saat ini hanya tercatat sebagai dokumen tanpa ada penyelesaiannya.

Selama keluhan-keluhan itu belum diselesaikan, pemerintah wajib menunda penggenangan waduk seperti termuat dalam Peraturan Pemerintah nomor 37 tahun 2010 tentang Bendungan. Pasal 38 peraturan itu menyatakan kewajiban pemerintah dalam pelaksanaan konstruksi, pembangunan bendungan harus melakukan kegiatan :
a.       Pembersihan lahan genangan,
b.      Pemindahan penduduk dan/atau pemukiman kembali penduduk,
c.       Penyelamatan benda bersejarah,
d.      Pemindahan satwa liar yang dilindungi dari daerah genangan.

Tata cara pemindahan penduduk dan atau/pemukiman kembali harus memperhatikan studi pemukiman kembali penduduk. Studi itu harus memuat lokasi tanah yang diperlukan, peta dan luasan tanah, status dan kondisi tanah, serta rencana pembiayaannya.

Tanpa ada langkah-langkah itu, pemerintah tidak boleh menggenangi waduk tersebut. Apabila pemerintah bersikukuh menggenanginya pada tanggal 1 Agustus 2015, maka berpotensi terjadi pelanggaran hak asasi manusia

Terkait isu pendidikan, anak-anak OTD pembangunan waduk terancam putus sekolah. Pemerintah belum memberikan kepastian bagi mereka selepas sekolahnya tergenang air Sungai Cimanuk. Alih-alih merelokasi, pemerintah belum memiliki rencana membangun sekolah baru di area rencana relokasi. Sekolah di sekitar area relokasi pun tidak akan mampu menampung siswa pindahan dari daerah yang tergenang.

            Setiap desa yang bakal tergenang air, rata-rata terdapat dua sekolah dasar dan satu sekolah menengah pertama milik pemerintah. Itu belum termasuk sekolah milik swasta dan lembaga Pendidikan Anak Usia Dini. Sebagai ilustrasi, ada dua sekolah dasar di Desa Cipaku dan Pakualam yang masuk dalam area genangan.

Hingga saat ini, ratusan siswa sekolah dasar tersebut belum mendapat kejelasan mengenai kelanjutan pendidikan mereka. Mendaftar sekolah ke tempat belum bisa dilakukan karena belum adanya kejelasan ke mana orang tua mereka akan pindah.

            Warga Pakualam sebenarnya punya pilihan relokasi ke tanah kas desa mereka. Namun pemerintah belum memiliki rencana untuk membangun fasilitas pendidikan di area tersebut. Sekolah yang ada di daerah sekitar area relokasi sendiri diyakini tak akan mampu menerima pindahan siswa dari dua sekolah dasar di Pakualam.

            Potret ini menunjukan bahwa pemerintah baik pusat maupun daerah tidak memiliki rencana penanganan dampak sosial di bidang pendidikan yang matang. Sebelum menggusur warga Jatigede dari rumah mereka, pemerintah seharusnya memikirkan masa depan pendidikan anak-anak Jatigede.

Pernyataan Sikap

Melihat dan merujuk pada fakta-fakta di atas, maka kami Tim Advokasi Aliansi Rakyat Jatigede menyatakan sikap :

1.      Pemerintah harus membatalkan rencana penggenangan waduk Jatigede pada tanggal 1 Agustus 2015 mendatang.

2.      Pemerintah harus menyelesaikan seluruh permasalahan dampak sosial dan komplain OTD pembangunan waduk Jatigede.

3.      Pemerintah harus merubah perspektif penyelesaian dampak sosial yang hanya menggunakan pendekatan pemberian uang pengganti dan uang santunan. Perspektif penyelesaian masalah sosial harus berdasarkan pada pemenuhan hak asasi manusia, ekonomi, sosial dan kemasyarakatan OTD, seperti, memikirkan lahan tujuan relokasi, perubahan profesi, mata pencaharian, pendidikan, lingkungan, serta aspek sumber-sumber kehidupan OTD secara utuh.

4.      Pemerintah harus menghormati upaya masyarakat yang mengajukan permohonan Judicial Review atas Perpres No.1 tahun 2015.

5.      Pemerintah harus menghentikan dahulu seluruh kegiatan sosialisasi pembayaran uang tunai untuk rumah pengganti dan uang santunan untuk penanganan dampak sosial kemasyarakatan pembangunan waduk Jatigede. Termasuk pengerahan pasukan pengamanan yang berlebihan saat proses sosialisasi.

6.      Pemerintah menarik  surat pernyataan  yang menyebutkan OTD bersedia pindah dalam waktu tujuh (7) hari.

7.      Presiden Joko Widodo dan Gubernur Ahmad Heryawan harus turun melihat langsung kondisi dan menyerap aspirasi  masyarakat OTD.Tidak hanya berdasarkan laporan bawahan saja.


Bandung, 1 Juli 2015
Tim Advokasi Aliansi Rakyat Jatigede adalah gabungan beberapa organisasi non pemerintah seperti Aliansi Gerakan Reforma Agraria, Lembaga Bantuan Hukum Bandung, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jawa Barat, Serikat Perempuan Indonesia, Jari Ra Hyang. Tim advokasi ini mendampingi OTD yang kerap mendapatkan perlakuan tidak adil dari pemerintah dalam pembangunan Waduk Jatigede.

CP:
Rizky Ramdani (081321565644)

Dewi Amelia (081220294565)

About ""

SERUNI atau Serikat Perempuan Indonesia adalah organisasi perempuan yang memiliki cita-cita kesetaraan gender dan kehidupan lebih baik bagi perempuan Indonesia.

Posting Komentar

 
Copyright © 2013 SERUNI
Design by FBTemplates | BTT