BREAKING

Selasa, 26 September 2017

Klarifikasi AGRA terkait keterlibatannya dalam aksi KNPA 27 september 2017



Siaran Pers 

“ *AGRA Tidak Bergabung Aksi KNPA dalam Peringatan Hari Tani Pada 27 September 2017”* 

 *Jakarta, 27 September 2017.* Pimpinan Pusat Aliansi Gerakan Reforma Agraria (PP-AGRA) mengucapkan selamat Hari Tani Nasional (HTN) ke-57 kepada kaum tani dan seluruh Rakyat Indonesia, yang jatuh pada 24 September 2017. 

AGRA adalah organisasi Tani Nasional yang beranggotakan petani miskin, buruh tani tak bertanah dari berbagai jenis komoditas, Suku bangsa Minoritas (SBM) di pedalaman, Nelayan Miskin, petani pemukim dan penggarap (settlers) yang tinggal ditengah dan sekitar hutan, saat ini keanggotaan AGRA tersebar di 18 Propinsi.

Sebagai organisasi Tani, HTN merupahan hari penting karena sejarah dan capaian kemajuan perjuangan kaum tani di Indonesia. oleh karenanya AGRA selalu menggunakan peringatan HTN sebagai memontum dalam menyelenggarakan berbagai kegiatan kampanye. 

Peringatan HTN ke-57 tahun 2017, AGRA secara Nasional telah menyelenggarakan berbagai aktifitas kampanye melalui diskusi, dialog publik, seminar, aksi piket, kampanye kreatif hingga mobilisasi massa serentak di 18 provinsi yang dilaksanakan pada 25 September 2017 dengan tema “ *Perkuat persatuan kaum tani dan solidaritas antar rakyat tertindas - tolak Reforma Agraria Jokowi, hentikan kekerasan dan kriminalisasi terhadap rakyat”.* 

AGRA menyadari peringatan HTN juga dilakukan oleh berbagai organisai lain dan salah satunya adalah Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA). KNPA adalah aliansi berbagai organiasi patani, NGO dan AGRA merupakan salah satu anggota KNPA sampai saat ini. Namun demikian dalam peringatan HTN tahun 2017, AGRA menyelenggarakan aksi dan kampanye secara mandiri dan TIDAK BERGABUNG  dalam aksi KNPA yang di lakukan pada 27 September 2017. 

Rahmat, Ketua PP-AGRA menyampaikan, “sikap dan tuntutan KNPA berbeda dengan AGRA, khususnya terkait Program Reforma Agraria Pemerintah Joko widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK). AGRA secara tegas menolak Program Reforma Agraria Jokowi dan menuntut program ini dihentikan. Sehingga, sikap AGRA pada dasarnya tidak akan mendorong ataupun memperkuat rencana dan implementasi skema Reforma Agraria pemerintah Jokowi karena ini bukanlah Reforma Agraria sejati sebagaimana aspirasi kaum tani dan rakyat Indonesia.”

AGRA berpandangan bahwa Program Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RAPS) Pemerintahan Jokowi-JK sama sekali tidak bertujuan untuk mengurangi atau menghapuskan monopoli tanah oleh tuan tanah besar dalam berbagai bentuk, baik oleh perkebunan besar milik swasta atau pemerintah sebagai agen dari modal internasional milik kapitalis monopoli (Imperialisme). Begitu pula penguasaan tanah luas oleh konsesi pertambangan, taman nasional dan perusahaan konservasi sama sekali tidak tersentuh. 

Rahmat menambahkan, “Reforma Agraria adalah aspirasi sejati rakyat yang menghendaki terwujudnya keadilan atas hak kepemilikan tanah dan kebebasan akses atas sumberdaya alam di Indonesia, dan terhapusnya setiap bentuk monopoli, baik monopoli atas tanah, monopoli sarana produksi dan produksi pertanian hingga distribusi. Sebuah aspirasi objektif yang melekat dalam kaum tani, rakyat dan bangsa Indonesia.”

Disisi lain, RAPS Jokowi tidak memiliki perhatian atas masalah sewa tanah yang mencekik, sistem bagi hasil yang timpang dan tidak adil bagi tani miskin di pedesaan. Reforma Agraria Jokowi justru akan memperdalam dan memperluas peribaan di pedesaan dengan mempromosikan pembagian sertifikat untuk “disekolahkan”. Dengan syarat produksi-input dan output pertanian Indonesia yang sangat buruk, kredit bagi kaum tani adalah petaka terbesar. Lebih lanjut, program ini sama sekali tidak menjawab persoalan upah buruh tani yang sangat rendah, monopoli input dan output pertanian, dan justru semakin meneguhkan Negara sebagai Tuan Tanah melalui program Perhutanan Sosial dengan luasan 12,7 juta Ha. 

Reforma agraria sejati harus mampu untuk menurunkan secara drastis sewa tanah terutama bagi hasil feodal yang timpang dan tidak adil bagi kaum tani. Reforma Agraria sejati juga menurunkan peribaan secara drastis atau mengusahakan penghapusan peribaan sama sekali, memperbaiki upah buruh tani yang ekstrem rendahnya, menentang monopoli input pertanian yang diimpor dengan harga sangat mahal serta merusak, dan menentang ekspor hasil keringat kaum tani oleh kekuatan monopoli asing dengan harga sangat murah. 

Reforma agraria sejati tidak dapat berjalan berdampingan dengan monopoli tanah dan pemberian HGU tanpa batas oleh pemerintah. Reforma Agraria tidak akan tercipta dengan perampasan dan penggusuran tanah rakyat oleh pemerintah dengan kekerasan aparat bersenjata. Reforma Agraria sejati tidak akan ada selama suku bangsa minoritas tidak diakui dan tanahnya terus diambil oleh perusahaan besar monopoli. 

Reforma Agraria adalah syarat mutlak dan jalan bagi pembangunan industrialisasi nasional yang tidak saja menjamin kesejahteraan bagi kaum tani, melainkan seluruh rakyat Indonesia. 

AGRA menghormati atas sikap KNPA dan aksi pada 27 September sebagai kebebasan dan kemandirian, sebagaimana AGRA memiliki independensi dalam mengambil sikap untuk tidak bergabung dalam Aksi KNPA karena perbedaan pandangan dan sikap dalam “Program Reforma Agraria pemerintah Jokowi-JK” .

AGRA memberikan apresiasi dan dukungan kepada seluruh kaum tani yang berjuang dengan gigih dan pantang menyerah untuk mempertanahkan tanah, melawan perampasan dan monopoli tanah, kekerasan, kriminalisasi, serta menolak Program Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial pemerintah Jokowi-JK yang senyatanya tidak dapat menjawab masalah kaum tani, rakyat dan bangsa Indonesia. 

 *Rahmat* 
Ketua +62 821 1134 1420

 *Mohamad Ali* 
Sekjen +62 821 2013 5553



Senin, 25 September 2017

Pidato Dukungan SERUNI terhadap Perjuangan Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Dalam Peringatan Hari Tani Nasional (HTN) 2017

Serikat Perempuan Indonesia (Seruni)
Pidato Dukungan Perjuangan Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Dalam Peringatan Hari Tani Nasional (HTN) 2017
Mendukung Perjuangan Kaum Tani Indonesia Melawan Reforma Agraria Palsu Joko Widodo (Jokowi) dan Berjuang Bersama Wujudkan Reforma Agraria Sejati dan Industri Nasional Serta Hentikan Kekerasan dan Penindasan Terhadap Kaum Perempuan

Serikat Perempuan Indonesia (Seruni)  adalah organisasi massa kaum perempuan progresif dan militan yang hadir di tengah situasi krisis imperialisme serta di bawah dominasi dan penindasan Imperialisme dan cengkraman feodalisme di dalam negeri. Indonesia di bawah sistem Setengah Jajahan dan Setengah Feodal telah melahirkan tindasan dan penghisapan kaum perempuan yang berlipat. Sebagai organisasi massa perempuan yang menyadari bahwa penindasan terhadap perempuan merupakan penindasan yang luas dan berlipat, maka SERUNI tampil dengan membawa suatu garis perjuangan yang bertujuan untuk membebaskan rakyat Indonesia dari penghisapan imperialisme dan penindasan feodalisme sebagai jalan untuk meraih kesejahteraan dan kesetaraan gender. Sebagai bagian dari organisasi massa-rakyat demokratis nasional Seruni kembali menjadikan momentum Peringatan Hari Tani Nasional yang ke 57 tahun ini untuk menyuarakan dan memperjuangkan perbaikan nasib rakyat dan bangsa Indonesia. Mendukung Perjuangan Kaum Tani Indonesia Melawan Reforma Agraria Palsu Joko Widodo (Jokowi) dan Berjuang Bersama Wujudkan Reforma Agraria Sejati dan Industri Nasional Serta Hentikan Kekerasan, Penindasan dan Penghisapan Terhadap Kaum Perempuan.

Peringatan Hari Tani Nasional (HTN) yang ke 57 yang bertepatan dengan lahirnya UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) 24 September 1960 merupakan produk kebijakan yang lahir dari perjuangan panjang kaum tani untuk memperbaiki nasib dan memperoleh keadilan. UUPA yang lahir memiliki arti penting untuk membatasi penguasaan tanah di tangan segelintir orang agar kaum tani yang tidak memiliki tanah atau memiliki tanah terbatas juga bisa mengakses tanah yang dikuasai perusahaan besar dan negara. Namun sejak UUPA dikeluarkan negara tidak mampu mengimplementasikan undang-undang tersebut dan kaum tani masih jauh dari kehidupan yang sejahtera sejak rezim Soeharto sampai rezim Jokowi.

Selama 57 tahun hari tani diperingati, penghisapan terhadap kaum tani terus berlangsung dengan bentuk sewa tanah yang tidak adil, peribaan, monopoli alat kerja dan produk pertanian serta upah buruh tani yang rendah. Sewa tanah berasal dari kerja buruh tani, tani miskin dan tani sedang bawah yang berlimpah di pedesaan, di mana sebagian besar hasil kerja mereka dirampas dengan berbagai cara baik dengan licik maupun kekerasan. Hal ini dapat berlangsung hanya karena tuan tanah memonopoli tanah dan kapital untuk upah dan sedikit alat kerja sederhana, sementara kaum tani tidak memiliki tanah atau tanahnya amat terbatas dengan alat kerja yang sangat sederhana.

Upah buruh tani yang selalu rendah merupakan bagian penghisapan feodalisme dalam menambah keuntungan dari surplus produksi yang didapatkan tuan tanah. Masalah upah rendah yang sering dihadapi buruh tani yakni tidak adanya standar upah minimum oleh pemerintah, sistem pekerjaan yang tidak tetap menjadikan upah selalu rendah, sistem feodal lama yang masih berlangsung menjadikan buruh tani hanya mendapatkan pemberian seadanya dari tuan tanah seperti sekedar makan dan minum saja. Pemerintah Jokowi hanya mampu menindas dan mengendalikan HARGA TENAGA kaum buruh dan kaum tani, sementara harga kebutuhan pokok tidak stabil dan terus melambung tinggi dibiarkan tetap berada di tangan kapitalis monopoli Internasional dan tidak mampu berbuat apapun.  Diskriminasi upah antara buruh tani laki-laki dengan perempuan sering terjadi. Alasan yang sering digunakan tuan tanah adalah perbedaan beban dan peranan kerja laki-laki yang lebih besar dari pada perempuan dalam pembagian kerja. Kaum perempuan tani bisa hanya menerima upah setengah dari yang diterima laki-laki. Kaum buruh perempuan dalam pabrik maupun Buruh Tani Harian Lepas-Perempuan (BHL-Perempuan) dalam perkebunan bekerja dalam kondisi kerja yang sangat beresiko dan diskriminasi upah. Pelecehan dan kekerasan seksual, residu obatan-obatan pertanian kimia dan tingginya beban kerja masih terus berlangsung. Fasilitas libur di saat menstruasi dan layanan penitipan anak selama kerja masih menjadi impian perempuan pekerja perkebunan yang mustahil akan dipenuhi oleh perusahaan-perusahaan besar perkebunan.
Peringatan HTN tahun ini disambut dengan janji manis “Program Reforma Agraria” Pemerintah Jokowi yang tidak menyelesaikan masalah kaum tani dan suku bangsa minoritas yang tidak bertanah, bertanah terbatas, tidak ber-modal dan menderita karena tidak stabil dan rendahnya harga komoditas pertanian secara berkelanjutan. Reforma Agraria Pemerintah Jokowi hanya bertujuan untuk meredam kemarahan rakyat yang menderita, dan memperbarui “citra dan janjinya” agar terpilih kembali menjadi Presiden Indonesia kedua kalinya pada Pemilihan Umum (PEMILU) 2019. Reforma Agraria Pemerintahan Jokowi, tidak mengubah monopoli kepemilikan tanah, monopoli input dan output pertanian, negara dan pemerintah tetap tidak mampu menangani harga komoditas, harga komoditas dalam negeri masih sepenuhnya dikendalikan oleh imperialisme. Tanah dan seluruh kekayaan alam tetap berada ditangan yang sama, negara dan para tuan tanah besar yang menjadi pelaksana modal imperialis dalam perkebunan besarnya di Indonesia. Reforma Agraria sejati yang tidak mampu di jalankan oleh pemerintah Jokowi akan menghambat terbangunnya Industri Nasional berdiri di negeri ini. Industri Nasional merupakan jawaban atas persoalan pengangguran, stabilitas harga kebutuhan pokok, dan terutama jalan untuk mewujudkan kemandirian dan kedaulatan bangsa.
Peringatan HTN tahun ini tidak jauh berbeda dengan peringatan di tahun-tahun sebelumnya, diwarnai berita tindak kekerasan yang dilakukan negara kepada rakyat sebagai jawaban atas tuntutan rakyat yang bertahan di tanah nenek moyangnya. Duka masih dirasakan masyarakat dusun Jurang Koak desa Bedibas Kabupaten Lombok Timur yang di usir oleh Tanaman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) atas nama konservasi dan kelestarian lingkungan. Dalam setiap tindakan fasis dan represif yang dilakukan negara, perempuan dan anak pasti menjadi korban dan paling menderita. Kekerasan yang dilakukan aparat keamanan berakibat cedera fisik dan trauma yang akan membekas di diri anak-anak ketika orang tua mereka harus meninggalkan tanah nenek moyang atau tanah yang sudah ditempati lama oleh keluarga mereka.  

SERUNI di seluruh Indonesia secara serentak menggunakan Momentum Hari Tani Nasional (HTN) 24 September 2017 untuk menyuarakan dan memperjuangkan nasib kaum buruh, kaum tani, suku bangsa minoritas, pemuda dan perempuan tanpa kenal lelah secara berkelanjutan hingga menang. Memberikan dukungan kepada perjuangan kaum tani di seluruh Indonesia sebagai jawaban penyelesaian persoalan perempuan akibat tindasan Imperialisme, Feodalisme dan Patriarkhi.

Selamat memperingati Hari Tani Nasional 2017
Hidup Perempuan
Hidup Rakyat!

Ketua Nasional SERUNI
Helda Khasmy

******



Rabu, 20 September 2017

Aksi piket SERUNI menjelang HTN (Hari Tani Nasional) 2017

“Memperingati Hari Tani Nasional 24 September 2017”

Front Perjuangan Rakyat (FPR) yang merupakan aliansi organisasi massa-rakyat demokratis nasional yang menentang imperialisme, feodalisme dan kapitalis birokrat kembali menjadikan momentum Peringatan Hari Tani Nasional yang ke 57 tahun 24 September 2017  ini untuk menyuarakan dan memperjuangkan perbaikan nasib rakyat dan bangsa Indonesia, terutama kaum tani dan buruh, yang masih hidup dalam kemiskinan, yang masih dibatasi hak-hak politiknya, dan masih hidup dengan tingkat pendidikan dan kesehatan yang buruk. Peringatan Hari Tani (HTN) yang ke 57 yang bertepatan dengan lahirnya UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) 24 September 1960 merupakan produk kebijakan yang lahir dari perjuangan panjang kaum tani untuk memperbaiki nasib dan memperoleh keadilan. UUPA yang lahir memiliki arti penting untuk membatasi penguasaan tanah di tangan segelintir orang agar kaum tani yang tidak memiliki tanah atau memiliki tanah sempit juga bisa mengakses tanah yang dikuasai negara. Namun sejak undang-undang tersebut lahir negara tidak mampu mengimplementasikan undang-undang tersebut dan kaum tani masih jauh dari kehidupan yang sejahtera sejak rezim Soeharto sampai rezim Joko Widodo (Jokowi).

Pemerintah Jokowi hanya mampu menindas dan mengendalikan HARGA TENAGA kaum buruh dan kaum tani, sementara harga kebutuhan pokok tidak stabil dan terus melambung tinggi dibiarkan tetap berada di tangan kapitalis monopoli Internasional dan tidak mampu berbuat apapun.  Kaum buruh perempuan dalam pabrik maupun Buruh Tani Harian Lepas-Perempuan (BHL-Perempuan) dalam perkebunan bekerja dalam kondisi kerja yang sangat beresiko dan diskriminasi upah. Pelecehan dan kekerasan seksual, residu obatan-obatan pertanian kimia dan tingginya beban kerja masih terus berlangsung. Kaum buruh perempuan masih mengalami diskriminasi upah untuk jenis dan beban kerja yang sama dengan buruh laki-laki.    

“Program Reforma Agraria” Pemerintah Jokowi tidak menyelesaikan masalah kaum tani dan suku bangsa minoritas yang tidak bertanah, bertanah terbatas, tidak ber-modal dan menderita karena tidak stabil dan rendahnya harga komoditas pertanian secara berkelanjutan. Reforma Agraria Pemerintah Jokowi hanya bertujuan untuk meredam kemarahan rakyat yang menderita, dan memperbarui “citra dan janjinya” agar terpilih kembali menjadi Presiden Indonesia kedua kalinya pada Pemilihan Umum (PEMILU) 2019. Reforma Agraria Pemerintahan Jokowi, tidak mengubah monopoli kepemilikan tanah, monopoli input dan output pertanian, negara dan pemerintah tetap tidak mampu menangani harga komoditas, harga komoditas dalam negeri masih sepenuhnya dikendalikan oleh imperialisme. Tanah dan seluruh kekayaan alam tetap berada ditangan yang sama, negara dan para tuan tanah besar yang menjadi pelaksana modal imperialis dalam perkebunan besarnya di Indonesia.

Seruni sebagai bagian dari FPR ikut ambil bagian dalam memperingati hari tani nasional. Aksi piket dipilih menjadi rangkaian aksi puncak kali ini. Di Jakarta, Seruni ranting Kapuk bersama SPJ (Serikat Pemuda Jakarta) menggelar aksinya di RT.11 kelurahan Kapuk, Cengkareng Jakarta Barat pada selasa malam, 19 september 2017. Aksi yang dihadiri oleh enam orang gabungan Seruni dan SPJ ini menuntut kepada pemerintahan Jokowi-Jk:
a. Menghentikan operasi gabungan TNI-POLRI di Jurang Koak, yg di klaim wilayah taman nasional gunung rinjani
b. Hentikan perampasan dan monopoli tanah, 
c. Tolak reforma agraria palsu ala Jokowi-Jk, 
d. Jalankan reforma agraria sejati sesuai aspirasi kaum tani 
e. hentikan kekerasan dan kriminalisasi terhadap kaum tani. 

Tak lupa seruni bersama SPJ juga menyuarakan tuntutan kaum miskin perkotaan antara lain:

a. Hentikan rencana penggusuran di Kapuk poglar, 
b. Berikan ganti rugi pada korban gusuran kaliapuran, 
c. Tolak reklamasi teluk jakarta
d. Berikan legalitas atas tanah yang bagi rakyat yang sudah menggarap tanah terlantar selama puluhan tahun.

Selain di Jakarta, Seruni Riau yang tergabung dalam FPR juga melakukan aksi piket pada hari ini, Rabu, 20 september 2017. Pemerintah Jokowi tidak bisa menciptakan lapangan kerja baru. Dia hanya bisa menciptakan lapangan kerja baru dengan cara memecat pekerja yang lama atau dengan melenyapkan lapangan kerja yang lama. Buruh baru direkrut, buruh lama dipecat atau diganti dalam sistem kontrak. “Buruh Tani tetap-Karyawan” di-kontrak, Buruh Tani Harian Lepas (BHL) dipecat atau dengan berbagai dipaksa mengundurkan diri.
Kehidupan rakyat Kandis di Riau jauh lebih berat lagi. Hidup di tengah lautan investasi dan utang luar negeri sangat besar karena berdiri Perkebunan Besar Sawit dan Kayu (HTI) terutama Grup Sinar Mas, Hidup di tengah pertambangan besar milik imperialis Chevron Pasific Indonesia (CPI), tanah yang luas, kekayaan alam yang berlimpah dan tenaga kerja yang tersedia justru menjadi sumber malapetaka bagi rakyat. Buruh perkebunan mengalami kondisi kerja yang buruk dengan upah yang sangat rendah dan waktu kerja yang panjang. PT Ivomas Tunggal menguasai kurang lebih 31.000 hektar tanah dan hanya mampu menciptakan kurang lebih 6.000 orang tenaga kerja langsung dalam tujuh kebun dan ratusan buruh dalam tiga PKS CPO dan Kernelnya. Upah buruh PKS hanya sebesar 2.300.000 rupiah atau memenuhi 70% dari Kebutuhan Hidup Minimum Rata-Rata kecamatan Kandis sebesar 3.100.000 rupiah.
GSBI, AGRA, SERUNI, Dan Pembaru Indonesia yang berhimpun di dalam Front perjuangan rakyat (FPR) bersama-sama dengan seluruh Komite Wilayah dan Cabang lainnya di seluruh Indonesia secara serentak menggunakan Momentum Hari Tani Nasional (HTN) 24 September 2017 untuk menyuarakan dan memperjuangkan nasib kaum buruh, kaum tani, suku bangsa minoritas, pemuda dan perempuan tanpa kenal lelah secara berkelanjutan hingga menang. Dan dalam momentum Hari Tani Nasional, aksi puncak akan dilakukan pada hari senin 25 September 2017 serentak secara nasional di seluruh propinsi yang berdiri organisasi-organisasi yang tergabung di dalam FPR. Aksi piket yang dilaksanakan pada tanggal 20 September 2017 kali ini dilaksanakan di kecamatan Kandis Kabupaten Siak, Riau di tengah perkebunan besar milik Sinar Mas oleh FPR Kandis dengan mengajukan tuntutan :

a.    Hentikan landreform palsu dan jalankan landreform sejati sesuai dengan tuntutan dan kepentingan  kaum tani dan rakyat Indonesia
b.       Perbaiki Upah Kaum Buruh dan Buruh Tani Serta Perbaiki Kondisi Kerja
c.       Turunkan harga kebutuhan pokok rakyat
d.       Berikan cuti menstruasi dan melahirkan bagi buruh perempuan di perkebunan
e.       Berikan fasilitas menyusui dan pengasuhan anak di perkebunan
f.        Berikan tanah Dan Perbaiki Hidup Suku Bangsa Minoritas
g.       Turunkan harga input pertanian dan berikan kepastian harga jual produk pertanian.






******




Minggu, 17 September 2017

Pernyataan sikap Serikat Perempuan Indonesia (SERUNI USU); Tegakkan Keadilan, Hukum Pelaku dan berikan keadilan bagi Korban Pencabulan oleh Staff Rektorat USU



 Berita pencabulan oleh Syahroelan Lubis (54) warga Jl. Ampera Gg Dame No 38Pg, kelurahan Bantan, Kecamatan Medan Tembung yang berprofesi sebagai Staff Rektorat USU. Terbongkar ke publik pada 15/09/2017 melalui pemberitaan Tribun Medan (http://www.tribunnews.com/regional/2017/09/15/duh-staf-rektorat-usu-cabuli-bocah-9-tahun)

Berkat laporan dari orang tua korban pada 11 September lalu, korban (PA) adalah anak yang masih anak usia Sembilan tahun ini menjadi  trauma dan ketakutan. Peristiwa pencabulan ini terbongkar karena Ibu korban yang menempukan kejanggalan-kejanggalan pada anak perempuannya dan dan kemudian melaporkannya. Setelah ditindaklanjuti  dan dilakukan pemeriksaan Syahroelan Lubis (54) terbukti bersalah dan ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Polsek Percut Seituan. 

Pelecehan seksual yang dilakukan oleh Syahroel Lubis yang  dilakukan berulang-ulang tentu saja meninggalkan dampak psikologis bagi korban. Korban menjadi tidak percaya diri dan tidak berani berkata jujur karena perasaan takut, malu ataupun trauma. Sebab korban kekerasan seksual, akan selalu tetap menjadi korban dan sulit mendapatkan keadilan dari negara.
Apa yang di lakukan oleh Syahroelan Lubis adalah bentuk kekerasan dan pelecehan yang menunjukkan masih eksisnya budaya feodal patriarki dalam masyarakat Indonesia, dimana masih ada anggapan bahwa kaum perempuan berada pada posisi lebih lemah,rendah serta nomer dua dari pada kaum laki-laki. Pandangan bahwa perempuan itu hanya sebagai objek seksualitas (pemuas nafsu), hal tersebut tentu memberi legitimasi bahwa seolah-oleh perempuan dan anak  boleh dijadikan sebagai korban. Hal ini tentu membuat kaum perempuaan termasuk anak, sangat rentan menghadapi berbagai jenis kekerasan. Budaya feudal patriarki itu sendiri merupakan basis penindasan terhadap kaum perempuan yang masih ada di negeri ini. Feodal patriarki dipertahankan seiring dengan berkuasanya kepentingan kapitalis asing di Indonesia.

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh KPAI, pelecehan dan kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia meningkat 100% dari tahun 2013-2014 dan sulit menurun. Peningkatan yang sangat drastis membuktikan bahwa negara tidak hadir menjaga dan melindungi warga negaranya sebagaimana yang termuat dalam UUD 1945 terkhususnya perlindungan untuk anak-anak.

Menjadi hal yang sangat ironis kemudian ketika Kampus yang seharusnya menjadi tempat proses belajar memanusiakan manusia dengan cara-cara yang benar dan ilmiah justru terjadi tindakan yang tidak manusiawi dan tidak pantas di lakukan oleh pejabat kampus dalam hal ini Staff Rektorat Kampus USU. Tindak pelecehan seksual  yang di lakukan oleh Staff Rektorat Kampus USU Syahroelan Lubis  adalah tindakan yang sangat tercela dan sekaligus merampas masa depan anak tersebut dan  menambah panjang daftar  kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan dan anak yang dilakukan oleh para pejabat dan staffnya dilingkungan dunia pendidikan di Indonesia. Maraknya pelecehan seksual terhadap perempuan termasuk dialami anak-anak dibawah umur, seakan-akan bukan menjadi masalah besar bagi negeri ini.

Kami berpandangan, Kampus seharusnya menjadi lembaga yang ilmiah, demokratis dan mengabdi  pada rakyat juga memiliki wawasan kesetaraan gender. Bukan mempertahankan budaya feodal patriarki yang merendahkan kaum perempuan dan anak. Kaum Perempuan dan juga anak tidak boleh dilihat sebagai properti bagi kaum laki-laki seperti  kepemilikan terhadap harta benda. Oleh karenanya, kaum perempuan harus  aktif terlibat dalam perjuangnan dan mengambil  peran aktif dalam membebaskan diri dalam berbagai bentuk penindasan baik dalam tingkatan kampus dan tingkatan masyarakat lainnya. Kaum perempuan juga harus mulai memberanikan diri keluar dari ruang khusus yang di bangun oleh budaya patriarki seperti sektor domestic  atau hanya di dalam rumah tangga. 

Maka dari itu SERUNI (Serikat Perempuan Indonesia) sebagai organisasi perempuan dikampus USU mengambil sikap: 
1. Mengutuk segala bentuk pelecehan dan kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan
2. Mengutuk atas tindakan pelecehan yang dilakukan oleh Syahroel Lubis salah satu staff rektorat USU kepada korban anak PA 
3. Mendesak rektorat USU untuk mengambil tindakan yang tegas terhadap Syahroelan Lubis
4. Mendesak Reskrim Polsek Percut Seituan untuk mengusut tuntas kasus pelecehan seksual yang dilakukan Syahroelan Lubis dan memberikan hukuman yang seberat beratnya. 
5. Meminta kepada KPAI untuk memberikan perlindungan dan memulihkan korban
6. Meminta USU menerapkan kurikulum berbasiskan kesetaraan gender.

Demikian pernyataan sikap
 SERUNI USU. 
17/07/2017 
Hormat kami,

Desy Maya Sari
 Kordinator
 
Copyright © 2013 SERUNI
Design by FBTemplates | BTT