BREAKING

Sabtu, 22 Desember 2018

Sembilan puluh tahun (1928 – 2018): Kembalikan semangat hari Ibu menjadi momen kebangkitan gerakan perempuan di Indonesia



Berbicara tentang hari ibu, tak lepas dari sejarah diperingatinya tanggal 22 desember sebagai hari ibu setiap tahunnya. Meskipun kini makna hari ibu sendiri telah mengalami pergeseran, alangkah baiknya kita kembali membuka lembaran sejarah, membaca dengan terang bahwa pernah ada momen berharga dimana 300 orang dari 30 organisasi perempuan dari 12 kota di jawa dan sumatera berkumpul, menggelar kongres perempuan Indonesia untuk pertama kalinya di Dalem Jayadipuran, Yogyakarta pada tanggal 22-25 desember 1928.
Kongres perempuan Indonesia III yang berlangsung pada 22-27 juli 1938 di Bandung menetapkan tanggal 22 desember sebagai hari kebangkitan perempuan. Mengapa dipilih tanggal tersebut ialah untuk mengekalkan momen bersejarah bahwa kesatuan pergerakan perempuan Indonesia dimulai pada 22 desember.
Kemudian tahun 1959, pemerintah dibawah kepemimpinan presiden Soekarno menetapkan Hari Kebangkitan Perempuan sebagai hari besar nasional (SK Presiden RI No. 316/1959), sebelum akhirnya Soeharto mengubah Hari Kebangkitan Perempuan menjadi Hari Ibu. Pengubahan nama tersebut jelas tak mewakili semangat perempuan dalam kongres-kongres dan perjuangan perempuan pada masa itu.
Kini setelah 90 tahun, situasi kaum perempuan tak banyak berubah. Masih dalam belenggu dominasi budaya feodal patriarkal. Jumlah perempuan hampir separuh dari total penduduk Indonesia yaitu sekitar 49% yang didominasi perempuan buruh dan perempuan tani. Namun, secara ekonomi perempuan masih mengalami diskriminasi upah baik di pabrik maupun di sektor perkebunan/agraria, selain itu ketimpangan kepemilikan alat produksi juga masih dialami kaum perempuan di Indonesia, dimana akses atas tanah masih sangat dibatasi. Hal paling mencolok yang bisa kita lihat adalah sulitnya perempuan mendapatkan hak naturalnya terkait cuti haid, cuti hamil, cuti melahirkan, dan hak menyusui bayi yang baru dilahirkannya minimal selama 6 bulan.
Jumlah buruh di KBN (kawasan berikat nusantara) Cakung adalah 80,000 dan 90% didominasi buruh perempuan, namun tak satupun perusahaan di kawasan tersebut menyediakan fasilitas menyusui untuk buruhnya. Banyak kampanye yang kemudian mengaburkan problem pokok perempuan buruh. Hanya bicara soal pelecehan seksual tetapi tidak bicara soal diskriminasi upah dan system kerja kontrak yang menyebabkan perempuan buruh menjadi mudah dilecehkan. Kenapa perempuan tidak berani melawan? Karena upah dan sistem kerjanya yg diskriminatif Berbeda lagi bagi buruh perempuan di perkebunan kelapa sawit, jangankan hal yang lain, hanya untuk mendapatkan cuti haid saja selangkangannya harus disenter dan kemaluannya diraba demi memastikan bahwa buruh tersebut datang bulan. Sungguh pelecehan seksual yang hakiki kata anak milenial masa kini menyebutnya. Ditambah lagi upahnya yang sangat rendah dan kondisi kerja yang buruk, semakin memiskinkan perempuan.  
Di Indonesia, jumlah kekerasan terhadap perempuan dan anak juga cenderung meningkat. Menurut kementerian Pemberdayaan Perempuan, prevalensi kekerasan terhadap anak-anak 33% dan kekerasan terhadap perempuan 30%. Sementara kekerasan seksual terhadap anak laki-laki 8% dan prevalensi kekerasan seksual terhadap anak perempuan 3,6%. Bila anak Indonesia berjumlah 83 juta maka ada 600 ribu hingga 800 ribu kekerasan seksual terhadap anak. Menurut Komnas Perempuan ada 259 ribu laporan kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2017. 305 Ibu Indonesia yang meninggal setiap 100.000 kelahiran bayi. Dari 5 juta kelahiran pertahun di Indonesia dengan pertumbuhan penduduk 2%, maka masih ada sekurang-kurangnya 13.500 ibu meninggal dunia setiap tahun.
Partisipasi politik perempuan juga masih rendah. Perempuan hanya dijadikan komoditas politik merekrut suara jelang pemilu semata. Jumlah perempuan di lembaga eksekutif dan lembaga legislatif relatif timpang dibanding jumlah laki-laki. Kuota 30% yang ditetapkan pemerintah hari ini juga semakin membatasi peran perempuan di pemerintahan. Meskipun aturan tersebut sudah dihapuskan, tanpa memberi solusi bagaimana menaikkan partisipasi politik perempuan di Indonesia. Problemnya bukanlah berapa prosentase jumlah perempuan yang harus terlibat dalam pemerintahan, namun karena masih eksisnya sistem patriarki yang dominan di negeri setengah jajahan dan setengah feodal (SJSF) ini.
Keadaan mayoritas perempuan Indonesia adalah ironi pada saat yang bersamaan negara membanggakan Sri Mulyani, Susi Pujiastuti, Hartati Mudaya Poo, bahkan Megawati dan Grace Natalie. Kenapa hal ini terbelangsung, karena banyak kaum perempuan di seluruh dunia dan di Indonesia bukanlah representasi dari kaum perempuan pekerja dan rakyat, mereka mewakili kepentingan perempuan dari klas yang berkuasa bahkan kepentingan imperialis dan klas-klas yang  menjadi kaki tangannya di Indonesia.
Perempuan “elit” yang menjadi representasi nominal semacam itulah yang sekarang sedang dilahirkan melalui proyek SDGs, sebelumnya MDGs. Kelahiran perempuan semacam itulah yang sekarang sedang dilakukan melalui persyaratan nominal “Perspektif Gender” dalam setiap proyek pembangunan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Masifnya pembangunan infrastruktur oleh Jokowi justru semakin meminggirkan peran kaum perempuan. Tak sedikit perempuan dan keluarganya tergusur karena proyek bandara internasional atau proyek jalan tol yang dibangun guna melayani kepentingan investasi.
Di aspek kebudayaan memperlihatkan rendahnya tingkat pendidikan kaum perempuan, bahkan di sudut kota Jakarta yang dengan bangga gubernurnya memberikan program KJP (kartu Jakarta pintar) masih ada anak-anak yang sulit mengakses pendidikan. Begitu pula akses perempuan terhadap kesehatan reproduksi. Setiap perempuan yang sudah melahirkan dipaksa memakai alat kontrasepsi tanpa dibarengi dengan informasi yang komprehensif akan dampak yang ditimbulkan terhadap tubuh perempuan itu sendiri. Perempuan dipaksa menanggung derita akibat dari program pengendalian jumlah penduduk karena Negara tidak sanggup menghidupi rakyatnya.
Untuk itu, tugas kita ialah membebaskan perempuan dari problem domestiknya. Perempuan harus merdeka untuk bisa punya akses terhadap ekonomi. Karena letak peran perempuan sangatlah penting untuk kemajuan arah perjuangan bangsa yang mandiri dan berdaulat. Terbebas dari belenggu budaya feodal patriarkal karena masih adanya monopoli tanah dan merdeka dari cengkeraman imperialisme Amerika serikat melalui pemerintahan bonekanya di dalam negeri. Kembalikan hari ibu kepada fitrahnya! Tanggal 22 desember ialah tonggak kebangkitan gerakan perempuan menuntut hak-hak demokratisnya yang hingga kini masih belum terpenuhi.  





About ""

SERUNI atau Serikat Perempuan Indonesia adalah organisasi perempuan yang memiliki cita-cita kesetaraan gender dan kehidupan lebih baik bagi perempuan Indonesia.

Posting Komentar

 
Copyright © 2013 SERUNI
Design by FBTemplates | BTT